- Home >
- Mengalir Bagaikan Air
“Apa nanti nggak terlihat aneh?” tanya Kiki pada suaminya di telpon.
“Aku rasa tidak. Kamu kan sudah tahu siapa adikku. Jadi tidak harus sama
aku untuk pergi ke sana kan?”
“Memang sih,” jawab Kiki, sambil memainkan kabel telpon.
“Lagian dulu kamu juga sudah pernah melihat pembukaan pertandingannya
bareng mereka juga. Jadi sekarang sama saja kan kalau kamu pergi sendiri
untuk lihat finalnya.”
“Ok, aku paham maksudmu, sayang. Meskipun dulu ada kamu, cuman? aku akan
jadi satu-satunya wanita di sana.”
“Oh, kamu salah. Dina kan ikut juga ke sana.”
“Oh baguslah, sempurna.” jawab Kiki, dengan nada suara sedikit tajam.
Wanita genit itu, batin Kiki.
“Aku tahu, kamu dan Dina? agak kurang cocok, tapi sebenarnya dia wanita
yang baik. Kamu hanya perlu lebih mengenal dia Ki.”
“Hendra,” Kiki hampir mulai memprotes, tapi ditahannya dirinya. Sudah
terlalu sering pembicaraan tentang hal ini berakhir dengan pertengkaran,
dan dia sudah memutuskan kali ini harus berakhir bahagia. “Kamu mungkin
benar. Setidaknya, lebih baik nonton finalnya bersama-sama dari pada
sendirian saja.”
“Aku harus pergi, sayang. Selamat bersenang-senang!”
“Pasti.” Kiki berusaha untuk terdengar gembira.
“I love you.”
“I love you, too.”.
Hendra sudah pergi sangat lama, pikir Kiki. Bicara lewat telpon memang
bagus, tapi dia merindukan kehadirannya secara fisik. Dia rindu untuk
meringkuk dalam peluknya di Sabtu pagi, dan saling bergandengan tangan
sewaktu jalan sore. Semuanya, pikirnya, diayunkan langkahnya menuju
kamar mandi, dia merindukan seks. Mereka sudah menikah selama dua tahun
dan kehidupan seksual mereka tak pernah menunjukkan gejala menurun.
Paling tidak, tiga atau empat kali dalam seminggu. Sekali waktu, kadang
mereka membuat janji untuk berkencan di hotel selayaknya sepasang
kekasih, hanya sekedar untuk sebuah ?quickie? di sela waktu makan siang.
Dia bersihkan rambut sebahunya dengan shampoo, lalu mulai menyabuni
tubuh rampingnya. Erangan lirih mulai lepas dari mulutnya saat tangannya
menggapai payudaranya, lalu memilin putingnya. Hendra menyukai
payudaranya. Dia bilang kalau ukuran B-cupnya adalah ukuran yang tepat
untuk digenggam dan diremas. Kiki sendiri senang dengan bentuk
payudaranya karena sangat sensitive dan cepat membuatnya terangsang
begitu dipermainkan.
Tangannya yang sebelah kanan bergerak turun menelusuri perut kencangnya
dan mengarah pada gundukan vaginanya yang mungil dan rapat. Dia menyukai
rasa dari air hangat yang seakan tusukan jarum kecil pada permukaan
kulitnya saat dia mainkan jemari pada kelentitnya yang licin.
Membawa dirinya sendiri ke puncak ledakan orgasme, tubuh telanjangnya
merosot menyandar pada dinding kamar mandi, dan berusaha mengatur
nafasnya yang memburu. Kiki belum pernah melakukan masturbasi selama dua
tahun pernikahannya dengan Hendra. Sekarang hal ini dilakukannya dalam
kesehariannya, dan bahkan dia sedang mempertimbangkan untuk membeli
sebuah vibrator untuk mengisi hari-harinya yang sepi semenjak ditinggal
pergi Hendra ke luar kota. Meskipun memikirkan tentang alat itu masih
tetap membuat dirinya tersipu malu dan serasa bergolak perutnya, tapi
godaan itu semakin besar dan bertambah besar.
Diraihnya alat pencukur dan merampungkan ritual mandinya: shampoo,
sabun, masturbasi dan mencukur.
Dia keringkan tubuh basahnya dengan handuk sambil mengamati pantulan
bayangannya di dalam cermin. Seperti kebanyakan gadis keturunan jawa,
kulit kuning kecoklatan membalut tubuhnya yang semakin menyiratkan daya
tarik seksualitas yang eksotis dan nakal tapi tetap anggun. Berjalan
dengan masih dalam keadaan telanjang menuju ke kamarnya, sambil
mempertimbangkan akan memakai pakaian apa untuk acara di rumah Johan
nanti.
Johan, yang adalah adiknya Hendra, seorang eksekutif muda yang terbilang
sukses, memiliki beberapa perusahaan yang penjualannya selalu dengan
rating yang bagus. Dan dia merupakan tipe pria yang menikmati hidup.
Memiliki rumah tinggal di pusat kota dan sebuah tempat peristirahatan
yang berada di puncak, yang sering dipakainya saat berakhir pekan dan
juga untuk acara kali ini. Sebuah tempat peristirahatan yang selalu
membuat kagum Kiki saat di sana, dengan area yang sangat luas dan bentuk
campuran antara gaya tradisional dan modern yang sangat nyaman untuk
beristirahat melepaskan diri dari kepenatan kota.
Rumah peristirahatan itu terletak di atas bukit, dan mempunyai sudut
pandang yang luas untuk menikmati indahnya pemandangan lembah di
bawahnya. Ini dikarenakan banyaknya bukaan dari pengaruh gaya
tradisionalnya. Tempat ini juga mempunyai sebuah lapangan tenis ? yang
hanya digunakan sesekali ? dan sebuah kolam renang besar ? yang paling
sering dipakainya setiap waktu. Dan yang paling membuat nyaman adalah
privasi dari tempat ini, tetangga terdekat terletak jauh di bawah lereng
bukit. Saat semua pintu yang terletak di sepanjang ruang tengah hingga
kolam renang, akan dapat membuat kita dapat menghirup segarnya udara
perbukitan ini.
Sebuah TV layar datar berukuran besar terletak di ruang tengah yang mana
itu akan dipakai untuk menyaksikan pertandingan final nanti. Johan
sebenarnya tidak begitu peduli tim mana yang akan menang, karena tim
jagoannya sudah tersisih sebelum final.
Semua tamunya sudah hadir di sini, kecuali kakak iparnya, Kiki. Jimy,
Dany, dan Dina adalah teman masa kecilnya. Ahmad merupakan rekan
bisnisnya yang kemudian jadi sahabat karibnya, yang sekarang juga akrab
dengan Jimy dan Dany dan Dina. Kelimanya menjadi sahabat karib tak
terpisahkan dalam lima tahun terakhir, dan Johan merasa senang bisa
menyaksikan pertandingan final nanti bersama mereka semua.
“Kapan nih isteri Hendra yang seksi itu datang?” tanya Jimy yang sudah
agak mabuk. Sebagai seorang keturunan Chinese, membuat wajahnya sangat
bersemu merah, dengan sangat cepat setiap kali dia mengkonsumsi alkohol
meskipun sedikit kadarnya. Dan dia selalu berubah dari seorang ahli
komputer yang pemalu menjadi penggila pesta yang liar.
“Harusnya Kiki tiba sebentar lagi. Dia menelpon satu setengah jam yang
lalu dan bilang kalau dia sudah berangkat,” jawab Johan, sambil membalik
daging panggangnya. Ini sudah hampir pukul empat sore. Pertandingannya
sendiri mulai pukul lima nanti, tapi Jimy sudah tak sabar untuk mulai
minum duluan.
“Yeah, aku harap dia datang sebentar lagi. Aku mulai bosan lihat Dina!”
jawab Jimmy menggerutu.
“Hey!” Dina berteriak protes dari dalam. “Aku dengar itu!” dia melompat
bangkit dari sofa dan berjalan keluar. “Jadi, kamu pikir aku membosankan
untuk dilihat ya?” tanyanya dengan mulut cemberut.
Dina berpose layaknya seorang model, tangan di pinggang, berpose untk
para pria. Sebenarnya dia bukannya tipe yang membosankan untuk
dipandangi. Sama sekali bukan. Rambut berombak panjang sepinggang di cat
kecoklatan, tubuh montok menggiurkan tapi jauh dari kata gemuk, dan
kulit putih yang membungkus tubuh indahnya. Jika kamu melihat majalah
model, maka akan kamu temukan gambaran sosok Dina di sana. Kegemarannya
membentuk tubuh di pusat kebugaran membuat tubuhnya selalu tepat saat
memakai berbagai macam busana, dari busana resmi hingga bikini. Hari
ini, dia kenakan sebuah kaos ketat dan celana jeans selutut yang juga
ketat, memeperlihatkan lekuk tubuhnya yang begitu mengundang selera pria
untuk mencicipinya.
Johan selalu suka pada bentuk pantat Dina. Sebenarnya, semua orang suka.
Sangat ideal, kencang dan merupakan sebuah bentuk yang diimpikan semua
wanita. Dina juga menyukainya, dia selalu memakai busana yang bisa
memperlihatkan betapa seksinya bongkahan pantatnya, dia selalu berusaha
mempertunjukkan tampilan terseksinya. Tapi berpose seperti itu di
hadapan para pria sebenarnya membuatnya jengah. Walaupun dia menyukai
perhatian pria pada tubuhnya, tapi orang-orang ini adalah sahabat
terdekatnya. Dan mereka hampir seperti keluarga saja.
Tak mau ambil pusing, diputuskannya untuk berjalan melewati mereka dan
duduk di tepian kolam renang, memasukkan kaki indahnya ke dalam air yang
dingin. Dia hanya senang menggoda saja bukan seorang wanita jalang.
Bel di pintu berbunyi dan Dany pergi untuk membukakan, itu pasti Kiki,
isteri Hendra yang sangat menarik.
Kiki masuk sambil membawa satu renteng bir kaleng, dan Dany seperti
terpaku menatapnya. Kiki mengenakan gaun selutut warna putih yang
terikat di balik lehernya sebagai penyangga. Rambut sebahunya di kuncir
ekor kuda. Dia memakai sandal warna putih yang memperlihatkan kukunya
yang terawat baik dan diwarnai merah muda senada dengan kuku jari
tangannya.
Kiki menelan ludah, terlihat keadaan Danny yang agak mabuk membuatnya
lupa akan waktu. Dia seakan mematung menatap sekujur tubuh Kiki tak
berkedip. Sudah diputuskannya sejak dulu dia akan tidur dengan wanita
ini, meskipun ada Hendra atau tidak.
“Silahkan masuk, tuan putri.”
Kiki merasa jengah dengan cara memandang Dany yang tanpa tedeng
aling-aling pada tubuhnya. Jikalau dilain waktu mungkin Kiki akan merasa
dilecehkan dengan cara tatap Dany, tapi dengan keadaan gairahnya yang
masih menggantung selama ditinggal Hendra seperti ini membuatnya melirik
sekilas ke arah Dany. Tampan juga, nilainya. Tinggi, berkulit sawo
matang, dan penuh percaya diri, Kiki tahu kalau Dany sangat cerdas dan
kecerdasannya itu selalu digunakan untuk menaklukan wanita. Hampir pada
setiap kesempatan, dia selalu menggodanya. Kiki sudah pernah
membicarakan hal ini dengan Hendra, tapi reaksinya hanya tertawa saja
dan, “Anak muda memang begitu.” Hendra, yang hanya tiga tahun lebih tua
dibandingkan Dany yang berusia 28 tahun selalu menyebut Johan dan Dany
beserta seluruh teman-tamannya dengan sebutan anak muda.
Kiki, yang juga berusia 28 tahun, sadar jika dia harus berhati-hati saat
berada di dekat pria pecinta seni ini.
“Kamu kenal Ahmad, kan?” Tanya Dany, saat berjalan di belakang Kiki
menuju ke ruang tengah. Kiki bisa merasakan mata Dany tak pernah lepas
dari pantatnya.
“Ya, kami sudah pernah ketemu,” jawab Kiki. Ahmad sudah menarik simpati
Kiki. Pria keturunan timur tengah yang tak banyak bicara, tampan dan
berotak encer, hanya dialah yang tak menunjukkan ketertarikan seksual
vulgar terhadap dirinya. Ahmad sangat sopan dan Kiki berharap perilaku
ini bisa menular pada para sahabatnya yang ?liar? ini.
Kiki melihat Johan dan Jimy sedang berada di beranda belakang. “Mau
ditaruh di mana ini?” tanya Kiki, mengangkat bir kaleng yang di bawanya.
“Si cantik sudah datang!” komentar Jimy yang setengah mabuk terlontar
sebelum Johan mampu menjawab.
“Hei, tenang sedikit,” bisik Johan pada temannya. “Jimy, kenapa nggak
kamu taruh birnya dalam almari es dan sekalian ambilkan pizzanya juga.”
Mata Jimy seakan dilem pada tubuh wanita bersuami ini saat berjalan
melewatinya menuju ke dalam rumah.
Johan minta maaf atas kelakuan kasar teman-tamannya. Kakaknya memang
pria beruntung, pikirnya untuk yang entah keberapa kalinya. Dia coba
untuk tidak membiarkan matanya terlalu lama memandang tubuh indah kakak
iparnya ini, atau bahkan membayangkan seperti apa bentuk tubuhnya saat
telanjang.
“Aku senang akhirnya kakak mau datang juga,” katanya. Untuk sesuatu alas
an, dia merasa sedikit malu. Jarang sekali dia pergi keluar dengan Kiki
tanpa Hendra, tapi sejujurnya dia sangat menikmati keberadaannya tanpa
kakaknya. Dan kebetulan juga Kiki lebih gila dengan pertandingan ini
dibandingkan kakaknya.
Kiki tersenyum pada Johan, mulai merasa nyaman dan percaya diri, lalu
bilang, “Aku senang melihat pertandingan rame-rame. Meskipun harus
dengan pria-pria tidak karuan seperti kalian.”
“Ada wanitanya juga lho,” kata Dina, sambil mengangkat tangannya tanpa
memalingkan muka, dia masih tetap berada di tepian kolam renang, asik
dengan lamunannya sendiri.
Isteri Hendra sudah datang. Isteri Hendra yang cantik dan penuh percaya
diri telah datang. Yang selalu yakin bila berhadapan dengan pria. Dina
suka Kiki, setiap kali dia perhatikan semakin dia merasa iri padanya.
Dina belum pernah sama sekali memikirkan untuk menjalin ‘hubungan’
dengan seorang wanita, tapi bila dia di suruh memilih seorang wanita,
maka pilihannya pasti akan jatuh pada Kiki.
Kiki tidak memperhatikan Dina saat datang ke sini. “Hai, Dina,” sapanya,
dengan nada suara seramah mungkin. Dina bahkan sama sekali tak
memalingkan muka membalas sapaan itu. Selalu ada sedikit ketegangan
diantara dua wanita ini. Hampir saja Kiki merasa putus asa untuk mulai
menjalin sebuah hubungan baik dengan wanita ini.
Ketika pertama kali menikah, Kiki merasa sangat cemburu terhadap Dina.
Dia merasa kalau wanita cantik ini selalu mencoba menggoda dan merebut
suaminya. Bahkan dia hampir saja menuduh kalau Henrdra punya affair
dengan wanita ini. Dan Hendra selalu bilang kalau hubungannya dengan
Dina hanya seperti kakak adik saja. Kiki masih merasa belum percaya tapi
dia terus berusaha untuk mempercayai apa yang dikatakan suaminya itu.
Johan berusaha mencairkan suasana dengan menawarkan minuman pada kakak
iparnya ini.
Pizza dan pertandingan jadi menu utama berikutnya. Mereka semua larut
dalam ketegangan pertandingan itu dan Kiki dan Dina menemukan kalau
mereka punya sebuah kesamaan; punya tim andalan yang sama…
Akhirnya, hal inilah yang mempersatukan mereka. Keduanya saling duduk
bersebelahan, saling bersorak memberikan dukungan pada tim andalannya
dan juga semakin bertambah mabuk karena minuman beralkohol yang
disuguhkan di sepanjang pertandingan ini.
Kiki menduga Dina akan bersikap ‘sangat wanita’ tentang olah raga,
seperti mengucapkan, “Oh, lihat, yang itu ganteng sekali….” Tapi,
kebalikannya, Dina benar-benar serius memperhatikan jalannya
pertandingan, komentarnya tentang tim andalannya benar-benar mengejutkan
semua orang, tak hanya Kiki.
Di akhir pertandingan, saat akhirnya tim andalannya kalah, Dina hanya
mengangkat bahunya dan bilang, “Aku rasa aku sudah agak mabuk.”
Kiki juga sudah merasa sedikit melayang karena bir yang dikonsumsinya
selama pertandingan, dan berkata, “Ini baru putaran pertama, nggak
masalah.”
“Hey guys, aku rasa aku mau langsung pulang nih,” si chinese berkata
dengan muka yang sangat merah.
“Sampai jumpa, Jimy,” jawab semuanya.
“Aku juga sebaiknya segera pulang,” kata Kiki, segera berdiri dan
meregangkan tubuhnya. Dany melirik payudaranya yang membusung ke depan.
“Oh nggak boleh,” jawab Dina, menarik tangannya hingga Kiki kembali
duduk di tempatnya lagi. “Kamu terlalu kebanyakan minum buat nyetir
mobil.”
“Tapi kalau dia?” Tanya Kiki, sambil menunjuk pada Jimy.
“Oh, dia akan baik-baik saja.”
“Aku sudah nggak minum beberapa menit lalu. Memang wajahku saja yang
kelihatan merah.”
“Lagipula,” kata Dany, berdiri dan memukul punggung Jimmy, “Rumahnya
juga dekat dari sini. Ya kan Jimmy?” Dany juga sudah mabuk.
Jimy pergi, meninggalkan tiga pria dan dua orang wanita yang sudah
setengah sadar semuanya itu. Dina sudah mabuk. Dia tahu karena dia
merasa lebih berani dan terbuka untuk mulai bicara pada Kiki. “Mm… jadi
sudah berapa lama Hendra pergi ke luar kota?” Tanya Dina.
Kiki, meskipun kesadarannya tidak penuh dan baru menemukan sesuatu yang
disukainya dari Dina, dia menatap wanita ini dengan pandangan penuh
pertahanan. “Dua bulan.”
“Dua bulan! Wow… itu sangat… ” akhirnya Dina melihat pandangan ‘siaga’
Kiki, dan tiba-tiba dia merasa takut. Dia takut jika Kiki mulai
membencinya. Dia merubah topiknya. “Aku Cuma merasa, ini pasti saat yang
berat buat kamu, dan juga pasti berat juga buat Hendra.”
“Apa maksudmu?” Tanya Kiki, masih sedikit bertahan, tapi juga sedikit
penasaran.
“Yah, aku yakin dia sudah bilang, kalu dia sangat mencintai kamu. Dia
selalu saja cerita tentang kamu! Dan nggak hanya karena dia berpisah
dengan isteri yang dicintainya, tapi juga sahabatnya. Setidaknya lebih
baik kamu sering menghabiskan waktu bersama kita.” Dina meletakkan
tangannya di lutut Kiki, mencoba untuk menenangkan.
Kiki tersenyum, tak menghiraukan tangan Dina, perasaannya dibalut
pengaruh minuman.
Dany dan Ahmad masih asik berdebat soal pertandingan tadi dan Johan
bergerak mendekati kedua wanita ini, dia membungkuk dan membisikkan
sesuatu di telinga Dina. Wanita cantik ini tersenyum nakal pada Johan
lalu mengangguk. Johan menghilang ke lantai atas, lalu wanita cantik ini
bergerak merapat pada Kiki dan bertanya pelan, “Kamu merokok nggak?”
“Mmm… kadang-kadang.” Jawab Kiki heran.
Dina tersenyum lebar, sambil menyibakkan rambutnya ke belakang
telinganya. Matanya yang tajam semakin berbinar menggoda , dan dia
kembali berbisik lebih pelan lagi, “Bukan, bukan rokok yang itu.
Maksudku itu lho… kamu tahu kan,” matanya mengedip penuh arti pada Kiki
“Oh,” kata Kiki, akhirnya tahu yang dimaksud Dina. Segera saja wajah
Kiki terasa hangat. Kadang-kadang dia sangat naïf soal hal-hal tersebut.
Awalnya dia ingin berbohong dengan teman barunya ini, tapi akhirnya dia
ingin berkata apa adanya. “Belum, belum pernah.”
“Yang benar?” Tanya Dina, raut wajah Dina menandakan perasaan herannya.
“Dan kamu menikah dengan Hendra sudah dua tahun?”
“Ya. Kenapa?”
Tiba-tiba Dina merasa sudah masuk ke wilayah yang terlalu pribadi
“Nggak, Cuma pengen tanya saja.”
*****
Sebentar kemudian, Johan sudah kembali, dia duduk diantara dua wanita
ini dan membuka sebuah bungkus rokok. Di dalamnya ada beberap lintingan
rokok lalu diambilnya sebuah. Dia lalu mengambil sebuah pemantik,
dinyalakannya, dihisapnya dalam-dalam kemudian menyodorkan rokok yang
baru saja dihisapnya itu pada Dina.
Menatap ujung Candu itu yang menyala merah di bibir penuhnya Dina,
membuat perut Kiki terasa bergolak. Dia sadar apa yang menantinya dan
dia tahu apa yang harus dilakukannya…
Dina sedikit terkejut saat menyodorkan rokok itu pada Kiki dan melihat
tangan wanita ini sedikit gemetar. “Santai saja dan hisap pelan-pelan ke
paru-parumu. Tahan selam mungkin sebelum kamu keluarkan,” Dina
mengajarkan pada Kiki.
Kiki mengangguk dan mencoba apa yang diinstruksikan oleh Dina. Dia
menganggap saja kalau rokok ini adalah sebuah rokok menthol biasa hingga
akhirnya dengan mudah dia mulai menghisapnya. Rasanya berbeda dengan
rokok biasa, mungkin lebih manis dan lebih pekat rasanya. Tak dia
rasakan sesuatu dalam hisapan pertama.
Giliran itu kembali berputar sekali lagi saat Dany duduk di sebelah
Kiki, katanya, “Hey, kesinikan Candunya.”
Tangan Dany merangkul pinggang Kiki, dan saat Kiki menolehkan kepalanya
untuk melihat Dany setelah dia menghisap rokok itu kedua kalinya, reaksi
Candu itu menghantamnya telak.
Kiki merasakan pusing yang amat sangat dan itu baru dialaminya kini.
Pandangannya segera mengabur. Suara di sekelilingnya seakan sebuah film
dalam slow motion, dan segera saja dia juga merasa gerakannya ikut
melambat. Gerakan dan bahkan pikirannya terasa bergerak melambat.
Perlahan disodorkannya rokok itu pada Dany, yang tersenyum kepadanya.
“Barang yang bagus, bukan,” katanya, suaranya seakan berasal dari
ruangan yang teramat sangat jauh. Kiki hanya mengangguk.
“Kamu nggak apa-apa?” Tanya Ahmad. Dia jongkok di depan Kiki, memegangi
kepala Kiki dan membuatnya menatapnya. Suara Ahmad bergema di dalam
kepala Kiki, “nggak apa-apa… nggak apa-apa… nggak apa-apa…”
Kata Ahmad, “Ambil nafas. Ambil nafas yang dalam…” Dan Kiki melakukannya
dan rasanya mengagumkan.
Seakan ada seseorang yang menekan tombol play pada remote control, dan
segalanya berubah menjadi normal kembali. Atau hampir normal. Semuanya
masih terlihat agak kabur, tapi tak lagi dalam gerakan lambat dan suara
yang terdengar sudah kembali normal. Semua orang kecuali Dany menatap
Kiki dengan penuh perhatian, dan Kiki segera dapat merasakan di mana
keberadaannya kini. Kiki bias merasakan tangan Ahmad yang terasa dingin
pada pipinya dan juga hidungnya dapat menghirup parfumnya yang maskulin.
Kiki juga merasakan tangan Dany yang melingkar di pinggangnya dengan
jarinya yang bergerak menggodanya. Lalu Kiki merasa wajah wajah dengan
ekspresi khawatir itu berubah tersenyum geli, sama dengan senyum
gelinya. Seakan dia baru saja mengucapkan sesuatu yang lucu, tapi tak
ada seorangpun yang tertawa.
Kiki ingin bilang, “Aku lupa bernafas!” Ingin dia teriakkan pada mereka,
seakan hal ini adalah sesuatu yang paling lucu di seluruh dunia. Tapi,
reaksi yang diberikan oleh otaknya hanya tertawa sekeras-kerasnya.
‘Penyumbat’ itu telah tercabut dan semua orang ikut tertawa lepas.
Setelah beberapa putaran kemudian, Kiki merasa kaalu dia sudah cukup
melayang tinggi. “Aku butuh udara segar,” katanya sambil bangkit
perlahan. Dia merasa kedua kakinya tidak stabil menopang tubuhnya. Dina
menyusul bangkit dan bilang, “Udara segar, kedengarannya ide yang
bagus,” dan bersama, mereka berjalan dengan terhuyung-huyung di tepian
kolam renang.
Keduanya kemudian duduk di tepian ujung yang lain kolam renang itu, kaki
mereka masuk ke dalam air yang terasa menyejukkan.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Dina setelah sekian lama keduanya berdiam
diri. Hanya suara serangga yang terdengar mengisi heningnya suasana
malam ini.
“Yeah…” kata Kiki, tak yakin dengan ucapannya sendiri. “Aku belum pernah
melakukan ini sebelumnya… tapi aku lega karena akhirnya sudah
mencobanya.”
“Aku mengerti maksudmu, bagaimana perasaanmu sekarang?”
Kiki menatap wanita di sisinya ini, “Melayang, tinggi. Dan… horny.” Dia
tak bermaksud mengucapkannya, tapi ini keluar begitu saja dari mulutnya.
“Ya… Candu juga selalu membuatku merasa sangat horny.”
“Bukan Cuma itu saja, tapi…” Kiki merasa jengah. “Aku tak percaya sudah
menceritakan ini padamu.”
Dina merasa tersanjung. Mereka mulai masuk pada subyek dimana keduanya
merasa nyaman dan saling percaya untuk saling bebagi, dan untuk pertama
kalinya dia merasa percaya diri di hadapan Kiki. “Kamu mau bicara soal
Hendra, kan. Dua bulan memang waktu yang lama…”
“Oh, ya,” jawab Kiki, menendangkan kakinya ke dalam air.
Keduanya saling membisu untuk beberapa menit lamanya hingga tiba-tiba
sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Kiki, “Kamu sudah pernah tidur
dengan salah satu dari pria-pria di sana belum?”
Kini giliran Dina yang merasa jengah. Dia enggan untuk menjawab
pertanyaan itu. Ini hanya akan semakin menambah jelek reputasinya di
hadapan wanita yang sangat dia inginkan untuk menjadi sahabatnya ini.
“Mm…”
Kiki tersenyum pada Dina dan berkata, “Aku janji nggak akan menghakimi.”
“Ok…” Dina memutuskan setelah beberapa saat. “Ini pasti akan terdengar
betepa jalangnya aku, tapi aku berani sumpah kalau aku bukan tipe wanita
seperti itu. Mungkin kadang-kadang aku bertingkah seperti itu, tapi
sungguh, yang kamu dengar beredar di luar sana itu hanyalah gossip yang
dibesar-besarkan saja… ” Dina menjelaskan panjang lebar.
“Dina! Dengar, aku benar-benar cuma penasaran saja. Dan itu juga bukan
urusanku.”
“Aku sudah pernah tidur dengan mereka semua kecuali Ahmad.” Mata Kiki
terbelalak lebar, tidak seperti janjinya sebelumnya. “Bukannya dengan
semuanya sekaligus. Waktunya berlainan semua. Kamu paham maksudku kan.
Johan adalah… pria yang mengambil perawanku pertama kali… my first.
Kejadiannya sewaktu masih di SMU. Dany dan aku… yahl, persahabatan kami
selalu ada nilainya, kalau kamu paham maksudku.”
“Kamu sudah pernah tidur dengan Hendra?” Kiki bertanya begitu saja tanpa
berpikir. Candu dan alkokoh akan membuatmu berbuat begitu juga.
Dina menatap Kiki, dia merasa sedikit nervous dengan pertanyaan
tersebut, juga sedikit terkejut karenanya. Sebelum dia menjawab
pertanyaan tersebut, suara dari sebuah handphone memecahkan suasana
malam itu.
“Sial, itu HP-ku,” kata Kiki, segera berlari menuju tasnya di dekat
panggangan. “Pasti Hendra.”
“Aku akan ke dalam,” kata Dina begitu di dengarnya suara Kiki yang mulai
bicara di telpon. Dina melangkah ke dalam rumah dengan meninggalkan
jejak kaki basah di sepanjang lantai beranda belakang.
“Kamu abis ngisep Candu ya?” tanya Hendra di telpon.
“Mm… ken-kenapa kamu Tanya brgitu?” jawab Kiki, mencoba sebisanya untuk
bersikap normal.
“Kamu bener-bener mabuk Candu!” Kiki harus menjauhkan HP dari telinganya
karena Hendra tertawa keras sekali di seberang telpon sana. “Rupanya
adikku sudah berhasil membuat kamu ngisep Candu. Wow…”
“Apa maksudnya ini, Tuan?” Tanya Kiki.
“Maksudnya aku sudah kalah taruhan. Ah, lupakan saja. Apa kamu senang di
sana?”
“Ya… lebih dari yang aku kira.”
“Tuh kan, teman-temanku nggak brengsek-brengsek amat.”
“Apa kamu sudah pernah tidur dengan Dina?” tamya Kiki, pertanyaan itu
masih mengendap dalam kepalanya.
“Sayang, jangan bercanda. Tentu saja tidak.”
Jika saja dia tidak dalam pengaruh Candu dan alcohol seperti sekarang
ini, pasti dia akan mengatakan kalau Hendra bohong. Kiki sudah mengenal
cukup lama untuk mendeteksi hal-hal seperti itu. Tapi dengan keadaannya
yang seperti sekarang ini, dia tak pasti.
“Kamu… kamu nggak bohong kan?” tanyanya tak yakin. “Astaga, aku… aku
nggak bisa. Hendra, apa kamu bicara jujur?”
“Oh Kiki, aku berani sumpah, Dina dan aku tidak pernah… tidur bareng.
Kenapa kamu tanyakan ini?”
“Soalnya, dia sudah pernah tidur dengan adikmu. Dan dia sudah kenal kamu
sejak dulu ”
“Itu waktu masih kuliah, ingat kan kalau aku lebih tua dari merka. Dia
benar-benar sudah pernah tidur dengan Johan?”
“Ya,” jawab Kiki. Sekarang semua yang dikatakan Hendra terdengar bohong.
Kiki tak tahu bagaimana mengatasi hal ini.
“Wow. Johan belum pernah menceritakan ini padaku… menarik.”
“Hey, aku dengar mereka memanggilku,” Kiki berbohong. “Aku harus pergi.”
“Ok. I love you, baby. Aku akan telpon lagi besok.” Kiki menganggukd.
Kenapa itu juga terdengar bohong?
“I love you, too. Good night.”
“Night.”
Dimatikannya HP itu, Kiki bangkit lalu berjalan menuju ke dalam rumah
dengan hati-hati, dia melangkah dengan hati tak pasti bukan hanya karena
Candu yang dihisapnya, tapi juga karena percakapannya dengan suaminya
di telpon tadi. Pikirannya benar-benar kosong hingga dia sampai tidak
menyadari akan kejadian yang tengah berlangsung di ruang tengah sampai
akhirnya dia berada sangat dekat…
Dina sedang duduk di sofa, diantara Ahmad dan Johan. Saat Kiki berjalan
mendekat, Dina sedang asik bercumbu dengan Ahmad sedangkan Johan tak
hentinya meraba tubuh dan pahanya. Johan menelusuri sekujur tubuh Dina,
tangannya meremasi payudara montok itu sambil memberi ciuman pada leher
Dina.
Kiki berdiri di sana seakan binatang buruan yang terperangkap,
menyaksikan Dina yang bergantian berciuman dengan Ahmad lalu melumat
bibir Johan.
Dany duduk di pojok lain ruang tengah ini, dia terlihat sangat mabuk dan
tersenyum seperti orang idiot. Dia menoleh dan melihat Kiki, lalu
berkata sambil menunjuk pada pangkuannya. “Ayo ke sini saja.
Pemandangannya lebih indah dari sini.”
Bergerak seperti bukan dengan kehendaknya sendiri, Kiki duduk di ujung
kursi di samping Dany. “Apa… yang terjadi?” akhirnya dia bertanya.
“Well,” bisik Dany, sambil bergerak mendekat, “ini berawal dari sebuah
kontes: ‘who was a better kisser.’ Berawal dari situ, yah… bisa kulihat
kalau Dina nggak keberatan dengan kedua peserta itu.” Kiki diam saja
membiarkan Dany menariknya ke pangkuannya, dan segera saja dia rasakan
ereksi pria ini menekan pantatnya dari balik gaunnya.
Kiki masih shock untuk bereaksi dengan kejadian dihadapannya ini dan
terlalu mabuk oleh Candu dan minuman yang dikonsumsinya. Dia juga merasa
sedikit marah pada Hendra, dan dia tak mampu berpikir kenapa. Tangan
Dany terasa nikmat saat melingkar di perutnya, dan Kiki merebahkan
tubuhnya bersandar pada Dany, sambil menyaksikan Dina yang menerima
ciuman dari kedua pria itu.
Dany merasa sangat excited mendapati Kiki berada dalam pangkuannya.
Dengan cepat lengannya melingkari pinggang ramping itu, dan senyumnya
semakin lebar saja ketika Kiki menyandarkan tubuh padanya. Rambutnya
terasa halus dan harum, dan parfumnya sungguh meracuni benaknya yang
pekat. Dany sangat menginginkan wanita ini melebihi apapun, dan saat
ini, jika dia dapat mengarahkan moment ini ke arah yang benar, dia yakin
akan bisa memenangkan hadiahnya.
Akhirnya Dina menghentikan percumbuan itu dan mengipasi dirinya
menggunakan tangan. “Wow! Tadi sangat hot. Aku nggak bisa memutuskan
siapa better kisser-nya. Aku rasa imbang.”
“Oh, nggak adil! Kiki, kamu yang putuskan,” kata Dany, sambil meremas
pinggang Kiki.
Kiki menggelengkan kepalanya pelan. “Tidak, aku tidak bisa… ”
“Ya, aku rasa itu bukan ide yang bagus,” jawab Johan. Bagaimanapun juga,
ini adalah istri kakaknya. Dia tak yakin bisa melakukannya dengan kakak
iparnya sendiri. Itu adalah sisi rasioanalnya yang bicara. Ketika dia
memandangi tubuh Kiki, nafsunya berteriak untuk melakukannya. Ayao
lakukan saja!
“Oh, Johan, it’s just a kiss,” kata Dany, dia menatap dengan Johan
dengan pandangan penuh arti. Johan tahu kalau Dany punya hasrat pada
Kiki. Mereka semua mengincarnya. Hanya saja Dany yang terus terang
menunjukkannya. Dia tak peduli apa Kiki sudah menikah atau bercerai atau
jadi janda atau apa sajalah. Kalu dia sedang tertarik pada seorang
wanita, maka dia akan terus mengejarnya. Meskipun itu isteri temannya.
Tidak bisa mempercayai Dany begitu saja, tapi itu jugalah yang merupakan
salah satu daya tariknya.
“Ya…, hanya ciuman saja,” Kiki berkata pada Johan, menengahi. Johan tak
bisa mempercayai hal ini! Dia tahu kalau Dany akan berkata begitu, tentu
saja. Tapi Kiki?
Dina tertawa pelan dan bangkit dari himpitan dua pria ini. “Sorry jadi
melibatkan kamu, Ki. Aku benar-benar nggak bisa memilih.”
Kiki juga tertawa, dia merasa tak yakin dengan perbuatannya, tapi juga
tak mau mempertanyakannya lagi. Dia duduk diantara dua pria tampan ini
dan menepuk kedua lutut mereka layaknya seorang ibu yang menghibur
puteranya. Ahmad, yang juga memendam hasrat pada wanita ini, wanita yang
sudah menikah ini, buah terlarang untuk dipetik. Cincin berlian yang
melingkari jari manisnya yang menandakan bahwa dia sudah dimiliki,
terlihat bersinar lebih terang. Tapi Kiki memang selalu terlihat
menggairahkan. Ahmad diam saja menunggu Kiki yang memulainya.
Kiki menghadap ke arah Johan, lengannya bergerak melingkari leher adik
iparnya ini. Dia tersenyum dan bilang, “Santai saja,” sebelum pejamkan
matanya dan mendekat. Johan merasa bibir kakak iparnya ini terasa sangat
lembut di bibirnya, hangat dan lembut. Sekilas, dia membayangkan
bagaimana rasanya jika bibir ini memagut penisnya. Bibir Kiki membuka
dan dia mulai menggerakkan lidahnya menggoda diantara ciuman mereka.
*****
Setelah sekitar dua atau tiga menit berciuman, Kiki melepaskan diri,
senyumnya terlihat jelas pancaran terpuaskan di wajahnya lalu dia
mencium ujung hidung Johan. Tanpa berkata apapun dia berpaling ke arah
Ahmad, tangannya segera mengalung di leher pria ini, dan langsung
melumat bibirnya. Pria keturunan timur tengah ini merasa kalau sebuah
ciuman yang indah adalah awal dari sebuah hubungan seksual. Dia tak
percaya anggapan ‘sebuah ciuman hanyalah sebuah ciuman’ karena dia tahu
betapa dahsyatnya kekuatan sebuah ciuman itu. Dia menggoda dengan
bibirnya, karena kalau dia bisa membuat wanita terkesan karenanya, Ahmad
tahu kalau sang wanita akan mengharapkannya agar dibuat terkesan
diseluruh bagian tubuhnya. Dia mencium isteri Hendra tak beda sedikitpun
terhadap wanita lainnya, dan dirasakannya kalau batang penisnya
mengeras oleh gairah. Kiki juga adalah seorang yang mahir berciuman. Dia
suka bermain dengan bibir dan lidahnya, menggerakkan kepalanya ke kanan
dan ke kiri, menggoda dengan gerakan sensual. Ahmad langsung menyambut
tantangan ini.
Johan seorang kisser yang hebat, Kiki harus mengakuinyat, tapi Ahmad
jauh lebih hebat. Dia bermain dengannya hanya menggunakan bibirnya saja
untuk melumatnya, dan Kiki benar-benar merasa jadi sangat basah hanya
karena sebuah ciuman ini. Sama sekali tak ada tarian lidah di sini.
Ketika Kiki merasa merasakan tangan Ahmad berada di payudaranya yang
kencang, reflek dia mengerang di mulut pria ini, merasa mulai melayang
akan cumbuannya, dan Kiki sudah tak bisa menahannya lebih lama lagi. Dia
harus berhenti, dunianya terasa berputar.
Akhirnya Kiki menghentikan ciumannya, nafasnya tersengal, dan wajahnya
merona merah. “Itu sangat… hebat… kelaian berdua hebat.”
“Mereka berdua sama hebatnya, kan?”
Kiki mengangguk, tapi harus diakuinya kalau Ahmadlah sang pemenangnya.
“Maaf Johan, Tapi Ahmad…” Dia hanya goyangkan kepalanya.
“Nah,” kata Dina, sambil berdiri. “Ini semua… harus jadi seorang juri
benar-benar membuatku… kepanasan. Setuju kan, Kiki?” Kiki hanya
mengangguk. “Ada yang mau gabung dengan aku dan Kiki untuk renang?”
Tangan Dina terjulur ke arah Kiki dan membantunya berdiri. Tanpa
berkata-kata apapun lagi, kedua wanita itu mulai berjalan keluar ke arah
kolam renang. Ketika keduanya sudah berada diluar, dalam dinginnya
udara malam itu, Kiki berbisik, “Aku nggak bawa pakaian renang.”
“Pakai bra celana dalam saja,” jawab Dina.
“Aku nggak pakai bra juga.”
“Ngak apa-apa,” jawab Dina lagi. “Aku juga nggak pakai kok.” Dina
tersenyum pada Kiki yang tampak terkejut, tapi langsung meraih ujung
kaos katunnya dan kemudian melepaskannya dari tubuhnya. Payudara
besarnya membusung menantang pada dadanya seakan sebuah balon udara.
Gundukan dua buah daging yang terlihat indah di dadanya, dan putingnya
menghias mungil di kedua ujungnya, benar-benar alami tak seperti putting
putting pada payudara hasil silicon yang melebar karena operasi. Dina
tertawa kesil melihat mata Kiki yang tak lepas dari kedua payudaranya
yang terpampang jelasitu.
“Bagaimana? Mau gabung denganku tidak?” Tanya Dina, masih tetap
tersenyum. Dia tahu para pria akan segera bergabung dengan mereka. Momen
ini terlalu saying untuk dilewatkan. Tapi untuk sebuah alas an yang
terasa liar dan menggoda, dia ingin wanita cantik yang sudah menikah ini
untuk bergabung dengannya dalam aksi ekshibisionisnya.
Johan melihat dari pintu yang terbuka. Dina memiliki tubuh yang
fantastis dan tubuh itu layaknya tubuh para model majalah Playboy.
Rambutnya yang panjang dicat kecoklatan. Tubuhnya adalah fantasi dari
semua pria dengan payudara besar, pinggang langsing dan pinggul dengan
lekuk merangsang. Paha jenjangnya merupakan satu kesatuan dari
menggodanya tiap lekukan tubuh itu. Kulitnya putih bersih dan Johan tahu
bentuk tubuh indah itu merupakan hasil kerja kerasnya dari olah
tubuhnya di gym yang hampir tiap hari itu. Singkat kata apa yang kamu
lihat di majalah-majalah model dan pria dewasa, itulah gambaran sosok
Dina.
Tapi karena sebuah alasan yang tak pernah dapat dijelaskan, Dina tak
memiliki rasa percaya diri tinggi yang biasanya dimiliki wanita dengan
‘killer-body’. Sebenarnya dia mampu dan berotak cerdas, tapi dia tidak
pernah mendapatkan pekerjaan selain sebagai seorang sekretaris kantor
biasa saja karena isu-isu yang beredar tentang dirinya. Kadang Johan
merasa khawatir dengan sahabatnya ini dan ingin merangkul dan
melindunginya, yang mana Dina memang tipe wanita yang menginginkan
diperlakukan sepeti itu. Tapi, isu-isu itu benar-benar membuat rasa
percaya diri Dina meredup dan hanya teman-teman dekatnya sajalah yang
mengerti siapa dia sebenarnya.
Dan saat ini, semua yang terjadi malam ini membuat Dina punya keberanian
dan rasa percaya diri untuk melucuti pakaiannya sendiri di hadapan
teman-teman prianya dan kakak ipar Johan, memperlihatkan indahnya bentuk
payudaranya. Reaksi Kiki seperti yang diharapkan Dina, malu dan juga
ingin ikut sedikit beraksi gila. Kiki menatap tajam mata Dina seakan ini
adalah sebuah tantangan.
Sejak pertama kali merka berjumpa, Johan selalu merasa ada sisi lain
yang liar dari kakak iparnya yang selalu terlihat penuh percaya diri
ini. Hendra selalu mengatakan padanya betapa beruntungnya dia menikah
dengan Kiki, tapi sebagai seorang saudara sekandung, Johan merasakan ada
sesuatu yang terpendam dan tak tersalurkan. Hendra adalah seorang pria
yang suka dengan tantangan dan bahaya sebelum dia menikah dan Kiki
kelihatannya tak bisa selaras dengan gaya hidup itu.
Menyaksikan kakak iparnya saat ini saat tangannya bergerak ke belakang
lehernya dan melepaskan tali pengait gaunnya, Johan berkata dalam hati,
“Inilah yang kamu inginkan kak, jika saja aku bisa mengatakan padamu
saat ini.”
Bentuk tubuh Kiki sangat beda dengan Dina, dan saat kedua wanita itu
berdiri berdampingan dihadapan mata para pria itu, mereka benar-benar
bisa melihat perbedaan itu. Kiki memiliki tubuh yang lebih tinggi dan
lebih langsing. Payudaranya lebih kecil tapi terlihat sangat tepat
ukurannya di tubuh bak penarinya itu. Lekuk tubuhnya juga sangat tak
bisa dipandang sebelah mata, lingkar pinggulnya lebih halus, pahanya
juga selalu terlihat menggoda dalam ukurannya sendiri. Saat dia melepas
gaunnya melewati pingangnya, memperlihatkan tali celana dalam putihnya,
Johan memperhatikan meskipun Kiki sedikit lebih kurus dibandingkan Dina,
Kiki tetap memiliki bentuk pantat yang menakjubkan, lebih kecil tapi
masih tetap tepat dalam ukuran tubuhnya itu
Dengan tersenyum Dina menurunkan resleiting celana jeans selututnya dan
melepaskannya turun dari pinggulnya. Dibaliknya, dia mengenakan g-string
berwarna biru yang sangat mini dan hanya terlihat tak begitu bisa
menutupi gundukan selangkangannya.
“Kalian mau gabung dengan kita?” Tanya Kiki, sedikit menggoda para pria
dengan mempperlihatkan putting merah mudanya sekilas saja sebelum
berbalik menghadap ke air dan kemudian terjun menyelam, membelah air
layaknya sebuah pisau tajam. Dina berjalan menghampiri Johan, dia
tersenyum dan menggandeng tangannya kemudian menarik Johan ke kolam
renang. Johan hanya mampu sebisanya untuk membuka baju dan celana
panjangnya sebelum tercebur ke dalam air.
Dany sangat gembira dengan ke mana arah mengalirnya moment di malam ini.
Bentuk tubuh Kiki memang seperti apa yang selama ini diimpikannya. Tapi
masih ada satu mistery yang ingin dia ketahui, dan itu berada dibalik
celana dalam putihnya Kiki.
Sebelum menuju ke kolam renang untuk bergabung dengan Johan dan kedua
wanita itu, dia mengambil kotak pendingin dan mengisinya dengan
botol-botl bir kemudian membawanya ke pinggir kolam renang.
“Kamu nggak ikut gabung?” tanyanya pada Ahmad sambil membuka sebuah
botol.
“Nggak tahu. Aku rasa aku lebih senang duduk di sini saja.”
Mata Dany terangkat. “Kenapa kamu? Main sama dua orang wanita cantik di
kolam, setengah telanjang lagi. Kenapa juga kamu lebih memilih duduk di
kursimu itu?”
“Anu, itulah masalahnya. Kamu lihat Johan, kan? Dia pakai boxer dan aku
lupa nggak pakai. Dan dengan dua wanita cantik ada disini… ”
“Aku paham! Begini saja, kamu jangan sampai keluar dari air saja. Itu
pasti lebih baik. Ambil nafas, pikirkan tabrakan kereta atau apalah
sampai setidaknya kamu sudah tak terlalu tegang, lalu langsung terjun ke
air.”
Ahmad terlihat masih ragu, tapi dia paham maksud Dany. He needed and
looked away, into the darkened hills of Portola Valley. Dany melepaskan
kaosnya, memperlihatkan tubuh bagian atasnya yang berotot. Dia mempunya
bentuk tubuh yang paling baik dibandingkan para sahabatnya. Setelah
melupaskan celana jeans-nya, dia langsung terjun ke air, berenang ke
arah Kiki dan merabai sekujur tubuh halus Kiki.
Kelimanya berenang dan juga minum dan mabuk lagi dan saling bercanda
dalam air untuk beberapa jam kedepan. Dany sangat terlihat menggoda Kiki
dengan terang-terangan, dan yang mengejutkan semuanya, termasuk Kiki
juga, isteri Hendra tak keberatan sama sekali dengan tingkah laku Dany.
Pada sebuah kesempatan, Kiki berenang ke tepian kolam untuk meminum lagi
birnya, Dany sudah berada tepat dibelakangnya. Dan saat Kiki
membalikkan tubuhnya, Dany menekan tubuhnya ke pinggiran kolam,
mendorongkan tubuhnya sangat dekat pada tubuh Kiki.
Pria ini punya tubuh yang bagus, pikir Kiki, lalu menyumpahi dirinya
sendiri karena memikirkan hal itu. Pria ini adalah seorang pembual,
orang brengsek yang sangat percaya diri. Tapi ada sesuatu dari pria ini
yang dirasakannya… sangat menarik dan tak dapat dicegahnya.
“Kamu sudah memberi ciuman pada Johan dan Ahmad. Bagaimana dengan
ciumanku?” tanya Dany. Kiki merasakan tangan pria ini berada di
pinggangnya, membuatnya semakin merapat ke tubuh Dani. Dia sudah sangat
keras… Kiki bisa merasakannya saat ereksinya menekan bagian bawah
perutnya.
“Kamu juga ingin?” Kiki nggak tahu, apakah ini pengaruh dari alcohol
ataukah dua bulannya yang tak terjamah, tapi dia meneruskan, “Baiklah,
biar adil.”
Dan kemudian kedua mulut mereka menyatu dalam sebuah ciuman yang sangat
panas.
Johan menyaksikan dari ujung lain kolam renang saat keduanya saling
bercumbu layaknya sepasang remaja kasmaran. Dia sadar kalau seharusnya
dia menghentikan kejadian ini sebelum semuanya jadi terlalu jauh.
Bagaimanapun juga wanita itu adalah isteri kakaknya! Tapi sisi lain
dirinya mulai terangsang, saat membayangkn apa yang bisa didapatkannya
dari kakak iparnya yang manis dan penuh rasa percaya diri itu.
Akhirnya dia putuskan untuk membiarkan saja moment ini mengalir
sewajarnya…
Dina sedang sibuk sendiri menggoda Ahmad. Batang penisnya yang setengah
ereksi tak luput dari pengawasan matanya saat pria ini menceburkan diri
ke dalam air, dan saat dia menerka berapa ukurannya, dia jadi semakin
penasaran untuk mengetahui berapakah ukurannya saat dalam keadaan ereksi
penuh. Diluar semua kejadian spesial dengan para sahabat prianya,
sebenarnya tak begitu banyak pria lain yang pernah tidur dengannya…
bagaimanapun juga tidaklah sebanyak isu-isu yang beredar di luaran… dan
sebenarnya dia belum pernah merasakan batang penis yang sangat besar.
Dan Ahmad mungkin akan memberinya pengalaman itu.
Kiki akhirnya mulai merasa terangsang di akhir sesi berenang mereka. Dia
tahu kalau dia sedikit mabuk, mungkin juga masih dalam pengaruh Candu
dan tak merasakan ‘rasa sakit’. Dan dia sadar kalau beberapa kejadian
yang sudah dilakukannya itu tidak semestinya dia lakukan, tapi rabaan
dan elusan pada tubuhnya yang nakal sungguh memberinya sebuah getaran
yang nyata.
Saat dia keluar dari air, dia tahu kalau mata Dany tak pernah lepas
sedetikpun dari bongkahan pantatnya dimana secarik kain satin yang kecil
itu menghilang, dan hatinya terasa menari-nari saat mengetahuinya.
Tak lama berselang Dany menyusulnya, Tubuh basah kekarnya tampak
berkilauan ketika tersapu cahaya lampu, dan Kiki sadar kalau putingnya
yang semakin keras mencuat bukanlah disebabkan oleh dinginnya udara
malam.
“Kami lupa handuknya,” Kiki tersadar, memandang sekelilingnyashe
realized, looking around.
“Nggak direncanakan ya?” Dany tertawa. “Ayo, kutunjukkan tempat
handuknya.” Apakah ada yang lebih baik dari tawaran ini, piker Kiki.
Hatinya berdebar membayangkan apa yang akan terjadi menunggunya.
Haruskah dia pergi?
“Kamu yang depan,” kata Kiki apada akhirnya. Wajahnya terasa panas, dan
dia tidak menoleh ke belakang untuk melihat reaksi dari yang lainnya.
****
Johan menatap Kiki dan Dany yang menghilang ke dalam rumah. Kepalanya
terasa mati rasa karena kebanyakan minum dan ganja. Kembali dia merasa
kalau dia harus menghentikan apa yang akan terjadi, tapi dia tak mampu.
Kiki memang terlalu merangsang dengan pakaian renangnya itu…
Dany membimbing Kiki ke dalam rumah yang besar itu, menaiki tangga lalu
masuk ke dalam ruangan yang gelap. led Kiki through the large house, up
some stairs, and into a darkened room. Kiki sudah merasa menggigil
kedinginan, lengannya terasa merinding, lengannya menyilang rapat di
depan payudaranya memeluk tubuhnya.
“Aku rasa handuknya ada di sini,” kata Dany, sambil menyalakan lampu.
Mereka berada dalam sebuah kamar tidur. Kamar tidur tamu yang tertata
dengan rapi.
Dany melangkah mendekati sebuah almari, membukanya dan menyodorkan pada
Kiki sebuah handuk halus berwarna putih, kemudian mengambil satu untuk
dirinya sendiri.
Setelah tubuh mereka kering, Kiki mengambil tiga buah handuk lagi dari
dalam almari untuk yang lainnya. Ketika dia berbalik, Dany sudah berdiri
tepat di belakangnya, seperti saat di kolam renang, hanya saja kali
ini, situasinya terasa lebih serius. Dany berkata pelan, “Kita nggak
perlu tergesa-gesa.”
Dibelainya rambut Kiki yang basah di belakang telinganya sambil
tersenyum
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Kiki, memberikan sebuah senyuman
yang keduanya tahu akan arti senyuman itu dan melangkah semakin
mendekati Dany.
“Aku rasa kamu tahu,” katanya, bibirnya semakin dekat.
“Oh ya?” jawab Kiki, sambil menyentuh bibir Dany dengan bibirnya
perlahan.
“Ya,” jawab Dany.
Kebimbangan tersebut hanya sebentar, dan bibir mereka kembali menyatu.
Mereka saling berciuman, dan tangan Dany menarik lepas handuk yang
membungkus tubuh Kiki, menjatuhkannya ke lantai. Kiki tersentak akan
udara dingin yang menyengat tubuhnya yang hampir telanjang, menyadari
betapa terlarangnya hal ini, tapi menginginkannya dengan amat sangat.
Masih tetap dalam perasaan yang seperti mimpi di sepanjang malam ini,
Kiki membiarkan dirinya dibawa Dany ke atas ranjang, kemudian Dany
menyuruhnya agar rebah dan rileks. Dany membungkus bibir Kiki dengan
bibirnya lagi, tangannya bergerak menelusuri sekujur tubuh mungl Kiki.
Ciumannya berjalan turun menelusuri sepanjang leher Kiki, bahunya,
payudara hingga putingnya.
“Ohhhhh!” Kiki mendesah, mendorongkan dadanya ke mulut Dany. Lidah Dany
membuat lingkaran di sekitar putingnya, mengirimkan riak kenikmatan ke
pusat indera seksualnya. “Ohhhhh, Dannnn…” kembali Kiki mendesah. Dany
berganti dari payudara satu ke satunya lagi, memberi perhatian yang sama
pada kedua daging sekal ini sebelum melanjutkan perjalanannya ke arah
tujuannya yang pasti.
Kiki sadar kalau dia seharusnya menghentikan Dany. Dia sadar kalau
permainan kecil ini sudah terlampau jauh. Permainan ini memang
menyenangkan, tapi dia sudah menikah. Dia sudah memiliki seorang suami
yang… yang berada sangat jauh saat ini.
Dany menyapu celana dalam Kiki dengan lidahnya, tepat di atas bibir
vaginanya. Dany tahu kalau Kiki sudah jadi miliknya sekarang dan dia
memutuskan untuk sedikit menggodanya. Dany akan menikmati ini. Dapat
dirasakannya bibir vagina Kiki dengan lidahnya, dan aroma birahi Kiki
segera menyergapnya. Dua jari Dany menyelinap dibalik celana dalam Kiki,
hanya di daerah tepiannya saja, bergerak turun pada selangkangan Kiki
yang sudah basah. “Ohhh, jangan terus menggodaku, Dany!” rintih Kiki.
Dany mendongak ke atas dan melihat wajah Kiki yang merona dan dengan
mata terpejam, sebelah tangannya sedang menjambak rambutnya sendiri.
Dany menyibak celana dalam itu ke samping, ditatapnya penutup terakhir
di tubuh wanita seksi dan sudah menikah ini. Dany merasa terkejut
sekaligus senang akan aroma manis dari vagina Kiki yang terawat dengan
baik. Bibir yang terus berdenyut lembut itu tercukur bersih, dan hanya
membiarkan sedikit rambut berbentuk segitiga tercukur rapi tepat di atas
celahnya. Dany menjilat sepanjang bibir vagina yang masih tertutup itu,
yang mengakibatkan wanita di atas tubuhnya bernafas dengan berat.
Dijilatnya sekali lagi sebelum akhirnya merenggut lepas celana dalam
itu.
Dany selalu terkesan betapa setiap vagina itu punya perbedaan
masing-masing. Labia Kiki kecil dan gemuk, bibirnya menutup rapat sekan
malu-malu, tidak seperti kebanyakan perempuan yang merekah terbuka saat
merekea sedang terangsang. Kepala Dany terkubur menghilang di antara
paha Kiki dan dia membelah bibir vagina yang masih merapat itu dengan
lidahnya, membuat Kiki semakin terbang tinggi menuju surga. Dany terus
menggoda Kiki. Dany adalah ahlinya dalam hal oral seks, dengan lidah,
bibir dan jarinya untuk menyalakan api jauh di dalam jiwa Kiki. Kiki
sangat membutuhkan pelepasan, tapi setiap kali otot perutnya mulai
mengejang, Dany memperlambat aksinya yang membuat ledakan itu mereda
kembali. “Ohhh, hentikan! OHHHH!” protes Kiki, tapi dia benar-benar
berada di bawah kendali Dany.
Hendra jarang memberinya oral seks, dan jikalaupun dia melakukannya,
sungguh sangat berbeda dengan ini. Sungguh lain dengan yang diberikan
pria yang bukan suaminya ini. Apa yang dilakukan Dany padanya membuat
Kiki saekan berada di tepi batas pertahanannya dan itu sangat merenggut
seluruh rasa di jiwanya. Sekujur tubuhnya bergetar dan rahangya terasa
pegal menahan beban rasa ini. Ketika gelombang kenikmatan itu terbangun
sekali lagi, dia tidak akan membiarkan pria ini mempermainkannya lagi.
Dijambaknya rambut Dany dan menyentakkannya ke arah selangkangannya,
mencekik Dany dengan vaginanya dan paha Kiki melingkar erat di belakang
kepala Dany. “Uh, UHH! OHH, YAA! YES! YES!! UH!! HAMPIR! YES,
OHHHHHHHHHH!!!”
Dany tak mampu berbuat apa-apa. Dia tetap mengoral Kiki dengan lidahnya
hingga orgasma atau tercekik kalau melawan. Kiki menggelinjang hebat
begitu orgasme diraihnya. “UHHHHHHHHH NGHHGHHHHHHH!!!! OOOHHHHHHHHHH!!!”
Dia menghentak liar ke wajah Dany, dan Dany hanya bias diam saja tak
menghindar, lidahnya terus mengaduk dalam vagina Kiki, bibir atasnya
menggetar di kelentit Kiki. “Ohhhhhh…” Gelombang itu mereda, Kiki mulai
tenang, matanya terpejam selama beberapa saat membiarkan dirinya
terhempas ke dalam samudera orgasmenya yang luar biasa.
Dany merangkak naik ke sebelah tubuh Kiki dan memberinya sebuah kecupan
di bibirnya. Kiki sedikit terkejut begitu merasakan cairan vaginanya
sendiri yang ada di bibir, dagu dan lidah Dany. Belum pernah dia
merasakan dirinya sendiri. Dia tidak pernah mengijinkan Hendra
menciumnya setelah memberinya oral seks. Tidak mengijinkannya sebelum
suaminya menggosok giginya terlebih dulu. Rasanya… sungguh berbeda.
Saat bibir mereka saling melumat, tangan Kiki merayap turun menuju
celana dalam Dany. Dapat dirasakannya bagian itu berkedut hidup. Jujur
saja ini lebih besar dari milik Hendra dan lebih keras juga. Kiki
memijitnya dengan bernafsu dan segera saja dia menyadari kalau dirinya
membutuhkan kejantanan ini. Didorongnya Dany hingga rebah dan
dikeluarkannya batang penis Dany. Mulut Kiki segera menyergap batang
keras kenyal ini, dihisapnya dari bagian samping, jemari Kiki mengocok
dengan cepat disertai dengan cengkraman tangna yang keras, dan Kiki tahu
kalau Dany menyukai aksinya ini.
Saat Dany sudah hampir keluar, Kiki berhenti, mulutnya melepaskan
hisapannya dari batang penis ini, dan segera bergerak mengangkangi tubuh
Dany. “Astaga, oh Dany, aku nggak tahu apa yang merasukiku, tapi aku
sangat menginginkan penismu sekarang juga.” Bibir vagina Kiki berada
tepat di atas kepala penis Dany, digesekkannya kepala penis itu di
sepanjang garis bibir vaginanya yang sudah dangat licin. “Aku ingin
penis kamu dalam vagina milik suamiku ini, Dany. Apa kamu tidak ingin
menyetubuhi wanita yang sudah menikah ini Dany? Aku ingin kamu
mengeluarkan spermamu yang hangat jauh di dalam vaginaku sekarang.
Vagina seorang istri pria lain ini” Kiki hanya bicara kotor saat
benar-benar sedang sangat-sangat terangsang. Dan ini biasanya terjadi
saat Hendra pulang dari perjalanan luar kotanya, tidak saat Hendra MASIH
berada di luar kota… Tidak pernah dengan pria lain, Tapi persetan, Kiki
sudah tak peduli lagi. Dan sama sekali tidak ambil pusing lagi saat
kepala penis yang gemuk ini mulai mendorok masuk menyeruak dalam kelopak
bunga dari vaginanya. Tidak saat batang ereksi Dany membelah bibirnya
dan mengisinya dinding lembut vaginanya dengan sesak
“Ohhhhh,” erang Kiki begitu tubuhnya mulai bergerak turun ke tubuh Dany
di bawahnya. “Oh, sayangku, rasanya saaaangat nikmat…”
Dany tak bias mempercayai betapa mencengangkannya pengalamannya kali
ini. Dia sudah pernah tidur dengan beberapa wanita yang sudah menikah
sebelumnya. Dalam pengalamannya, pertama kali sulit untuk menembus
pertahanan mereka, tapi berikutnya kalu sudah takluk, mereka akan sangat
liar di ranjang. Tapi Kiki lain, dia tidak menunjukkan tanda-tanda
penolakan untuk sampai di titik ini, dan sekarang, dia seperti
benar-benar terbakar birahinya. Tubuhnya bergerak naik turun pada batang
penisnya, tangannya di rambutnya sendiri, tubuhnya dengan punggung
melengkung tengadah ke belakang. Dany dapat melihat tulang rusuk Kiki
dengan posisi tubuhnya sekarang ini. Payudara sekalnya terguncang
menantang di dadanya, berkilat oleh keringatnya.
“Uh, uh, oh, OH!” Jika saja ada seseorang di lantai dua rumah Johan ini,
orang itu pasti akan mendengar sura Kiki. Dia mendesah, mengerang,
tersengal, menggeram bahkan kadang menjerit pelan. Kiki bersetubuh
dengan berisik, tapi itu malah semakin membuat Dany terbakar birahinya.
Sudah sangat lama Dany ingin meniduri wanita bersuami ini. Dan sekarang
ini, itu sudah tercapai dan dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan
ini. Dia tidak pernah mau jika affairnya dengan seorang wanita bersuami
berkelanjutan. Terlalu rumit, tapi begitu dia merasakan sinding vagina
Kiki yang cantik dan rapat ini menggesek batang penisnya turun naik, dia
memberikan pengecualian untuk kasus ini.
“Oh, keluarkan untukku! Oh, Dany, keluarkan dalam vaginaku! Aku ingin
merasakannya–ohhhh! Fuck me, fuck! Fuck! Yes! OHHHH!” Pertahanan Kiki
jebol terlebih dulu, dia keluar dan Dany membiarkan semua reaksi tubuh
Kiki, dibiarkannya Kiki mengocok pelan naik turun batang pennisnya
dengan dinding vaginanya yang terasa licin. Dany tahu kalau dia tidak
bias bertahan terus, tapi dia terus berkonsentrasi untuk memberikan
persetubuhan yag terhebat untuk wanita bersuami ini dan terlebih lagi
bagi dirinya sendiri.
“Ohh, Dan… jangan… mempermainkanku terus! Hentikan dan… cepat
keluarkan!” Kata-kata Kiki tercekat oleh nafasnya yang terhenti sesaat.
Kiki kembali berada di tepi orgasmenya ketika Dany batang penis Dany
mulai berkedut hebat.
“Ohhh!!! ARGHHH!!” teriak Dany. Dany belum pernah berteriak sekeras ini
saat bersetubuh. Tapi sekarang ini dia melakukannya, Gerungan, dan
erangan layaknya binatang liar keluar dari mulutnya. Dan wanita cantik
di atas tubuhnya ini terus menggoyang tubuhnya seakan menandakan
penaklukannya atas burannya ini. Dany sekan mengenakan sebuah helm
virtual dikepalanya, dia menyaksikan Kiki menari telanjang di atas salju
di hadapannya. Dia merasakan gairah peperangan, gairah kemenangan,
gairah penaklukan. Dan kemudan dia mengosongkan kantung spermanya ke
dalam rahim terlarang Kiki, menyemburkan sebanyak-banyaknya sperma
panasnya ke dalam rahim istri pria lain yang sangat terpuaskan..
“AAAARRRRGHHHHHHH!! AH! AHHHH!!!” Dany tak mampu mengontrol dirinya.
Kiki juga tak dapat menghentikan dirinya. Dia tetap memompa, meskipun
ketika batang penis Dany tengah menyemburkan spermanya dengan hebatnya
ke dalam rahimnya. Kiki menghentak turun pinggulnya ke arah Dany,
semakin keras dan bertambah keras saja, otot vaginanya meremas dan
memerah setiap tetes intisari dari Dany. Kiki merasakan semburan hangat
itu menghantamnya dan dia tak mampu menahan pertahanannya lagi.
“OOHHHHHHHHH YEAHHHHHHHH!!! YES–YESSSSSSS!!!”
Kiki merasa setengah sadar dibuai orgasmenya yang sangat intens.
Tubuhnya rebah terkulai di atas dada indah Dany, batangnya yang sudah
menyusut masih terbenam sebagian dalam vagina Kiki. Kiki dapat merasakan
sperma Dany yang hangat meleleh keluar diantara jepitan selangkangan
mereka. She felt light headed from the intensity of her orgasm. She was
laying on Dany’s beautiful chest, his shrinking member still half buried
in her cunt. She could feel his warm jism leak out from between them.
Hal ini membuatnya pusing, memikirkan apa yang sudah mereka perbuat. Hal
ini sangat terlarang. Sangat salah tapi juga sangat menyenangkan.
Kiki memberi sebuah ciuman ringan di bibir Dany dan berkata “Aku rasa
lebih baik kita segera bawa handuk handuk ini untuk yang lainnya.”
Kiki mengangkat pinggulnya mengeluarkan batang penis Dany dan keduanya
mendesah begitu batang itu tercabut keluar. “Aku mau mandi dulu,” kata
Kiki dengan tersenyum sambil melangkah ke arah kamar mandi. Dia merasa
begitu nakal saat dirasakan vaginanya yang penuh sperma menimbulkan
jejak putih menurun di pahanya, dia sangat menyukainya.
*****
Dany dan Kiki turun untuk berkumpul kembali dengan yang lain setelah
menghilang kurang lebih setengah jam. Sebuah handuk membungkus tubuh
Kiki, melilit hingga atas belahan dadanya. Dia menemukan sebuh penjepit
rambut di kamar mandi dan menguncir rambutnya ke belakang. Saat menuruni
anak tangga yang menuju ke ruang tengah, dia merasa bagaikan seorang
putri, dan ini bukan hanya karena ‘pakaian’ yang dikenakannya. Pada sofa
di bawahnya, sekali lagi, terpampang adegan yang membuat vaginanya
basah kembali.
Si keturunan timur tengah yang berkulit gelap itu duduk dengan posisi
kedua kaki terpentang lebar, telanjang seutuhnya dan memperlihatkan
ereksi yang sungguh mendebarkan hati. Dina berada di lantai di antara
pahanya, sedang sibuk menjilati batang ereksi luar biasa itu. Dia masih
tetap memakai g-string biru kecilnya, tapi jemarinya terlihat jelas
sedang sibuk juga di balik kain sutera tipis itu.
Duduk di kursi yang bersebelahan dengan sofa itu, Johan, yang celana
renangnya sudah turun hingga lututnya dan sedang sibuk mengocok batang
penisnya sambil melihat adegan di hadapannya. Kiki terpaku di tangga
sampai Dany menarik tangannya dan menuntunnya turun.
Johan segera beranjak mengambil handuk saat Dany dan Kiki menghampiri
mereka. Dia menawarkan minuman pada mereka, dan tentu saja kedua
temannya menyambutnya dengan suka cita. Saat dia kembali dengan membawa
vodka tonic, dia mendapati Dina sudah duduk diatas pangkuan Ahmad,
menciumnya sebentar dan memintanya untuk memperlihatkan kejantanannya.
“Belum pernah kulihat yang sebesar ini. Aku hanya… hanya ingin
melihatnya.” Dina mengerjapkan matanya dengan mimik yang polos yang
melumerkan hati Ahmad. Bagaimana mungkin dia menolaknya?
Kemudian yang dia tahu, dia merasakan batang penisnya yang gemuk dan
panjang sudah berada di dalam mulutnya dan Dina sedang menghisapnya
menuju surga. Betapapun dia mencoba sebisanya, Dina tak mampu menampung
batang kejantanan itu masuk seluruhnya ke dalam mulutnya. Ini terlalu
besar dan panjang. Jadi kemudian dia mengeluarkannya, mengangkat
tubuhnya sedikit hingga batang penis itu berada di antara belahan
payudaranya yang sekal, lalu tersenyum manja padanya. “Pernah
melakukannya?” tanyanya, sekali lagi dengan ekspresi kekanak-kanakan.
“Hah?” tanyanya, tak mengira ini akan terjadi.
“Seperti ini,” Dina tersenyum dengan nakal, tangannya berada di kedua
sisi payudaranya dan menekannya bersamaan, menjepit batang itu diantara
kedua bongkahan daging kenyal itu. Lidah Dina membantu melicinkan
gerakannya, dan dia mulai menggesekkan payudaranya pada batang penis
itu.
“Ohhh,” rekasi Ahmad, kedua bola matanya melotot terpana menyaksikan apa
yang dilakukan wanita ini padanya. Ahmad cukup berpengalaman, sudah
banyak wanita yang tidur dengannya, tapi seks selalu terjadi setelah
rangkaian kencan yang mesra. Dia selalu punya hasrat terpendam terhadap
Dina dan selalu menghayalkannya, tapi belum pernah sekalipun hal seperti
ini ada dalam fantasinya. Ketika kepala penis Ahmad muncul dari jepitan
payudaranya, Dina menyambutnya dengan jilatan lidahnya, sekali, dan
kembali melenyapkannya ke dalam hangatnya buah dadanya. Kepala Ahmad
terhentak ke belakang dan menggeram.
Kiki tak sanggup mempercayai apa yang disaksikannya. Dany membimbingnya
menuju ke kursi di seberang Dina dan Ahmad, dia merasa pipinya memerah
saat menyaksikan wanita ini memanjakan pasangannya menggunakan buah
dadanya sendiri. Ini seperti sebuah film porno yang sering dia dengar.
Ini membuatnya semakin terangsang. Dia rebahkan tubuhnya bersandar pada
Dany. Kiki tak mampu menahannya lagi. Dia mencium bibir Dany dengan
rakus sambil tangannya bergerak meraih penisnya yang mengeras, dan Kiki
mengocoknya agar semakin bertambah keras.
Johan harus memejamkan matanya untuk meredam ledakan orgasmenya saat
menyaksikan Dina yang menjepit penis Ahmad di antara payudaranya, dan
kemudian melihat Kiki dan Dany yang juga memulai adegannya sendiri.
Ketika dia membuka matanya, Kiki sudah duduk diatas pangkuan Dany,
dengan punggung yang menghadap ke arah Dany dan kedua tangan Dany
meremas payudaranya. Tubuh keduanya kembali menyatu dan mulai bersetubuh
lagi. Kiki terlihat sangat menawan saat sedang dibakar gairah. Jauh
lebih cantik dari biasanya, termasuk di saat hari pernikahannya. Rambut
sebahunya, terkuncir ke belakang, terlihat kusut dan basah. Sebagian
menempel lekat pada dahi dan pipinya. Matanya setengah terbuka, giginya
saling beradu keras dalam erangannya yang rendah, pelan dan berat. Dia
mengayun berlawanan mengiringi hentakan Dany, dengan keras, layaknya
seorang wanita yang sudah sangat lama tidak mendapatkan sentuhan pria.
“Oh, YA!” Ahmad berteriak, saat spermanya menyembur. Dengan cepat Dina
menangkapnya dengan mulut, membiarkan hanya sebuah gumpalan sperma yang
lolos menghantam dagunya. Dia sangat menyukai rasa dari sperma pria, dan
pria ini tak terkecuali.
“Aku ingin keluar dalam mulut kamu,” bisik Dany di telinga Kiki. “Aku
ingin merasakan bibirmu mengulum penisku saat kamu membuatku orgasme
untuk yang kedua kali malam ini.” Kata-kata nakalnya membuat Kiki merasa
jengah bercampur dengan birahinya yang semakin tinggi karenanya.
Kiki mengeluarkan penis Dany dari dalam vaginanya, lalu memutar tubuhnya
di antara paha Dany, dan memasukkan penis Dany yang basah oleh cairan
madunya sendiri ke dalam mulutnya. Dia merasakan cairan madunya sendiri
untuk yang kedua kalinya. Kali ini rasa itu membatnya bergairah. Hal ini
sangatlah keliru! Benaknya menjerit dan lidahnya menjulur membasahi
lidahnya dengan penuh rasa nikmat. Dia gunakan cairan vaginanya sendiri
sebagai pelican, tangan kanannya mengocok seiring dengan kuluman
bibirnya, sedang tangan kirinya dengan mesra menggenggam buah zakar
Dany.
Johan tak mempercayai semua yang tengah terjadi. Tak lama berselang
adegan oral, adegan berikutnya langsung menyusul. Kiki tak membutuhkan
waktu lama mengoral. Dany sudah berada di garis ketahanannya saat dia
rasakan kepala penisnya menyentuh tenggorokan Kiki dan mulai masuk.
“Ohhhh, fuck, baby! YEAAHH!”
Dina mengorek sperma yang lepas dari tangkapannya tadi dan menghisapnya
habis dari ujung jemarinya, sambil melirik nakal ke arah Johan. Pria
muda ini terlihat sangat manis, duduk di sana dengan penis dalam
genggaman tangannya, bingung menentukan adegan mana yang harus
disaksikannya. Terasa sudah cukup lama sejak terakhir kali Dina melihat
penisnya yang indah. Bagi Dina, itu adalah ukuran yang paling tepat
untuknya, dan setiap kali dia bercinta dengan Johan itu adalah
persetubuhan terbaik yang pernah didapatkannya.
Johan melihat wanita berambut ikal panjang sampai punggung ini berdiri
dan berjalan ke arahnya. Dina membetulkan g-string biru kecil yang
melingkari pinggulnya dan Johan seketika membayangkan apakah wanita ini
masih mencukur bersih vaginanya. Dina menghampirinya, duduk di sebelah
kirinya dan dapat dirasakannya sesuatu yang berbeda yang akan segera dia
ketahui.
Perasaan Johan campur aduk saat menyaksikan Dina memuaskan Ahmad. Di
satu sisi, dia merasa cemburu. Bagaimanapun juga Dina bukanlah miliknya
dan dia tidak berhak merasa cemburu. Di sisi lainnya, dia merasakan ini
sangat merangsang birahinya ketika menyaksikan Dina memuaskan
sahabatnya.
Johan tergetar akan keberadaan Dina yang merapat. Dapat dia rasakan
kehangatan dari tubuh Dina yang hampir telanjang di dekatnya. “Kamu
terabaikan,” kata Dina dengan suara jalang dan dalam. Tangannya
menggenggam ereksi Johan, t