- Home >
- DOSAKU TERHADAP ANGGA
Posted by : NashGore
Minggu, 04 Desember 2016
Aku kini
benar-benar terbangun setelah mendengar dengkuran Mas Har beberapa
lamanya. Kuperhatikan dada dan perutnya yang padat lemak itu naik-turun
seirama dengan suara dengkur yang makin menjengkelkanku. Aku turun dari
ranjang dan berjalan menuju cermin besar di kamar tidur kami. Kupandangi
dan kukagumi sendiri tubuh telanjangku yang masih langsing dan cukup
kencang di usiaku yang tigapuluhan. Kulitku masih cukup mulus dan putih,
payudaraku tetap bulat dan kenyal, pas benar dengan bra 37B warna pink
favoritku saat kuliah. Dan wajahku masih halus, semua terawat oleh
kosmetik yang aku dapatkan dari uang Mas Har. Ah, aku masih sangat
menarik. Tentu saja, tanda-tanda ketuaan tak bisa dihindari, namun
tubuhku belum pernah melar karena hamil, apalagi melahirkan. Aku masih
ingin meniti karierku, aku ini wanita yang menikmati kekuasaan.

Dosaku Terhadap Angga
Dan
menikah dengan Mas Har membuka lebar-lebar kesempatan untuk meraih
ambisi itu. Kualihkan pandangan pada sosok lelaki tambun di ranjangku.
Mas Har yang dulu tampil sangat jantan, bisa sangat berubah dalam waktu
12 tahun. Rambut halus di dada dan perutnya dulu yang selalu membuatku
bergairah bila dipeluknya, kini tumbuh makin lebat dan liar, sedangkan
Mas Har tidak pernah mau mencukurnya. Perutnya yang kokoh dulu kini
ditutupi oleh selimut lemak yang sangat tebal. Memang otot dada dan
tangannya yang kekar masih bertahan. Namun kalau aku bercinta dengan Mas
har sekarang, rasanya aku sedang ditiduri oleh seekor gorilla.
Memuakkan. Meski begitu, hasratku akhir-akhir ini makin tak tertahankan.
Seringkali, akulah yang meminta duluan ke Mas Har untuk memuaskan
nafsuku. Namun gara-gara stamina Mas Har yang loyo di usianya yang
setengah abad lebih, aku hampir pasti tidak terpuaskan dan kebanyakan
aku sendiri yang menyelesaikan "tugas" Mas Har. Sama seperti yang
terjadi sore ini, tinggal sebentar lagi aku merasakan orgasme, tiba-tiba
Mas Har keluar, dan dengan napas tersengal-sengal ia membelai-belai
tubuhku kemudian tertidur lelap di sampingku. Lagi-lagi harus
jari-jariku sendiri yang memuaskanku. Aku sudah tak tahan. Aku tidak
peduli lagi pada nilai dan norma yang berlaku bagiku sebagai perempuan.
Kubulatkan tekadku, kemudian aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan
diri dari bekas cumbuan suamiku yang memuakkan. Selesai sarapan Mas Har
pamit padaku dan mengatakan betapa menyesalnya dia harus meninggalkanku
akhir pekan ini ke Singapura, demi kepentingan lobby perusahaannya. Mas
Har memang pernah menawarkan padaku untuk pergi bersamanya, tapi aku
menolak dengan alasan aku lelah dengan pekerjaan kantorku dan sedang
tidak ingin pergi begitu jauh hanya untuk berbelanja. Dan kesempatan ini
akan aku gunakan sebaik-baiknya. Sore ini aku akan punya kegiatan yang
lebih menarik dari sekedar berbelanja, di Singapura sekalipun. Supir
kami mengantar Mas Har pergi dan 30 menit kemudian aku pergi menuju
kantor membawa sedanku sendiri. Setelah makan siang aku kembali ke
kantor dan menyelesaikan sebagian pekerjaanku hari itu dan dua jam
sebelum waktu pulang, aku menyerahkan sisa pekerjaan itu ke bawahanku.
Mereka tidak terlalu senang dengan tugas mendadak itu, tapi nampaknya
mereka sudah terbiasa dengan perangaiku. Mereka paham bahwa aku tidak
ingin menjadi lelah, karena sepulang kerja nanti aku akan pergi bersama
teman-temanku, eksekutif wanita muda yang lain. Hanya saja mereka tidak
tahu kalau hari itu, aku sudah membatalkan acara jalan-jalan kami.
Kukemudikan sedanku ke arah rumahku, namun kemudian berbelok menuju
tempat lain. Sekitar 15 menit kemudian aku berhenti di samping sebuah
lapangan basket di dalam suatu perumahan. Di sana sejumlah remaja SMU
sedang bermain. Aku turun dari mobilku dan duduk di samping lapangan
tempat tas-tas mereka diletakkan, lalu menyaksikan permainan mereka.
Salah satu dari mereka, mengenakan kostum basket warna merah, yang
kemudian melihatku, tersenyum dan melambaikan tangannya. Aku membalas
dengan cara serupa. Dia adalah Angga, anak salah satu bawahanku yang
sedang kutugaskan pergi ke luar kota selama beberapa hari. Hubunganku
dengan keluarga mereka cukup akrab untuk mengetahui bahwa Angga
mengikuti latihan basket dua kali seminggu di sana. Sepuluh menit
kemudian permainan berakhir dan sejumlah remaja itu menuju ke tas
mereka, yaitu ke arahku. Aku berjalan menuju Angga membawa sebotol
minuman yang sudah kusiapkan pagi tadi. "Ang, minum dulu nih. Ternyata
tadi di mobil Tante masih ada sebotol", tawarku. "Oh iya, Tante,
makasih!", jawabnya tersengal. Nampaknya ia masih kelelahan. Angga
mengambil botol dari tanganku dan segera menghabiskan isinya. Kami
berjalan menuju tasnya. Dan ia mengeluarkan handuk untuk menyeka
keringatnya. Aku mengintip sebentar ke dalam tasnya dan bersyukur aku
memberikan botol minumanku kepada Angga sebelum ia sempat mengambil
minuman bekalnya sendiri. Sebagai pemain basket, Angga cukup tinggi.
Dari tinggi badanku yang 168 cm kuperkirakan kalau tinggi Angga sekitar
180-an cm. Bisa kuperhatikan tangan Angga cukup kekar untuk anak
seusianya, sepertinya olahraga basket benar-benar melatih fisiknya.
Figur badannya menunjukkan potensinya sebagai atlet basket. Aku beralih
ke wajahnya yang masih nampak imut walau basah oleh keringat. Dengan
kulit yang kuning, wajahnya benar-benar manis. Aku tersenyum. Setelah
menyeka wajahnya, Angga memperhatikanku sebentar dan berkata, "Tante Nia
dari kantor? Kok pake ke sini?" "Nggak, males aja mau ke rumah, enggak
ada temannya sih. Om Harry lagi ke Singapura. Jadi tante jalan-jalan..
terus ternyata lewat deket-deket sini, sekalian aja mampir.." ujarku
setengah merajuk. Ia beralih sebentar untuk ngobrol dan bercanda dengan
temannya. "Sama dong Tante, Angga lagi males nih di rumah, nggak ada
orang sih!" "Nggak ada orang? Ibu sama adik kamu ke mana?" "Nginep di
rumah nenek, besok sore pulang. Aku disuruh jaga rumah sendirian". Angga
menaruh handuknya dan duduk di sampingku. "Oh, kebetulan banget ya.."
kata-kata itu tiba-tiba terlepas dari mulutku. Yang dikatakan Angga
benar-benar di luar dugaanku, tapi justru membuat keadaan jadi lebih
baik. Aku tidak perlu bersusah payah untuk mencari tempat ber.. "Kenapa,
Tante? Kebetulan gimana?" "Iya, kebetulan aja kita sama-sama cari
teman.." Angga tersenyum. "Sebenarnya.. Ehh.. Tante ada perlu sih ke
rumahmu. Ada file laporan penting yang harus diambil segera, padahal
papa kamu masih di luar kota. Kira-kira bisa nggak ya, tante ke rumahmu
ngambil file itu? Tante sudah bilang kok sama Papa kamu, katanya tante
disuruh ngambil aja di rumah.." "Oh, nggak apa-apa kok. Cuma mungkin
agak lama ya, Tante. Soalnya aku musti cari-cari kunci cadangannya
lemari papa. Biasanya selalu dikunci sih, kalau pergi-pergi. " "Nggak
masalah, Tante nggak buru-buru. Kita pergi sekarang?". Angga mengangguk
lalu kami berjalan menuju mobilku. Angga melambaikan tangan pada
teman-temannya dan meneriakkan kata-kata perpisahan. Kuperhatikan
teman-teman Angga saling berbisik dan tertawa-tawa kecil melihat kami
pergi. "Di rumah benar-benar nggak ada orang yah, Ang?" "Cuma aku doang,
Tante. Untungnya sih Mama ngasih uang lumayan buat cari makan." "Aduh..
Kaciann.." kataku manja. "Tapi biasanya seumuran kamu pasti ada pacar
yang nemenin kemana-mana kan.." Angga menoleh dan tersenyum padaku.
"Wah, Angga nggak punya Tante. Belum ada yang mau!" "Ah, masa? Cowok
keren kaya kamu gini loh!" Kutepuk pelan lengannya, mencoba merasakan
sejenak kekokohannya. "Kalau Tante sih, sudah dari dulu Angga tante
sabet!" Angga hanya tertawa ramah, ia sudah biasa dengan gaya bercandaku
yang agak genit itu. Padahal sebenarnya, sosok Angga benar-benar sudah
mempesonaku saat ia diperkenalkan padaku dan Mas Har setahun yang lalu.
Perjalanan ke rumah Angga memakan waktu sekitar 30 menit karena jalanan
sudah penuh oleh mobil-mobil orang lain yang menuju rumah masing-masing.
Dalam perjalanan aku tetap memperhatikan Angga. Aku ingin tahu apakah
minuman yang tadi Angga minum sudah menunjukkan reaksinya. Biasanya aku
menggunakan obat itu untuk memancing nafsu Mas Har dan mempertahankan
staminanya. Aku mungkin sudah gila.. Mencoba untuk tidur dengan bocah
SMU anak pegawaiku sendiri.. Tapi biarlah.. Gelegak di diriku sudah tak
mampu lagi aku bendung. Tadi pagi aku memberikan dosis ekstra pada
minuman yang kuberikan pada Angga, dan sekarang aku penasaran akan
efeknya pada tubuh muda Angga. Bisa kulihat sekarang napas Angga mulai
naik-turun lagi setelah sempat tenang duduk dalam mobil. Duduknya juga
nampak sedikit gelisah. Aku menepi. Kami sudah sampai. Ia membuka pintu
dan mempersilahkan aku masuk. Aku duduk nyaman di sofa ruang tamu dan ia
menuju dapur untuk menyiapkan segelas minuman buatku. Rumah Angga tidak
besar, sekedar cukup untuk tinggal empat orang. Sekali lagi aku
menanyakan pada diriku sendiri, apakah aku ingin melakukan hal ini.. Dan
sedetik kemudian aku menjawab: aku memang benar-benar menginginkannya..
Kutanggalkan jas dan blazerku, menyisakan sebuah tank-top putih untuk
melekat di bagian atas tubuhku. Tadi pagi aku sudah mematut diri di kaca
dengan tank-top ini. Sebenarnya ukurannya sedikit lebih kecil dari
ukuranku, hingga cukup ketat untuk memperlihatkan dengan jelas bentuk
payudaraku, bahkan puting susuku. Aku tersenyum geli ketika meihat
diriku di cermin pagi itu. Rok miniku kutarik sedikit lebih tinggi, dan
kusilangkan kakiku sedemikian rupa hingga Angga yang nanti kembali dari
dapur akan memperhatikan pahaku yang mulus. Angga keluar beberapa menit
kemudian membawakan segelas sirup dengan batu es. Ia terdiam sejenak
sebelum melanjutkan langkahnya menuju meja di depanku. "Panas banget,
Ang. Makanya Tante copot blazernya", kataku setengah mengeluh. "Iya,
memang di sini nggak ada AC seperti di rumah Tante". Suara Angga sedikit
terbata, nafasnya naik-turun, dan mencoba tersenyum. Kulihat Angga juga
berkeringat, tapi aku tahu hal itu bukan hanya karena panas yang ada di
ruang tamu ini. Aku mengambil gelas yang dingin itu dan menggosokkannya
pada bagian bawah leherku yang berkeringat. Segar sekali.. "Ahh.. Seger
baget Ang. " Angga menelan ludahnya. Kuminum sedikit sirup itu. "Uhh..
Top banget. Enak, Ang", ujarku setengah mendesah. "Hmm.. Tante.. Angga..
Angga cari kunci lemarinya papa dulu ya.." kata Angga. Anak ini pemalu
juga, kataku dalam hati. "Oh, iya deh, Tante tunggu. " Angga kemudian
bergegas menuju satu lemari besar di samping sofa dan mulai membuka
laci-lacinya. Aku bersabar sedikit lebih lama. Aku tahu dari tingkah
laku Angga yang makin gelisah, kalau obat itu sebentar lagi akan
benar-benar memberi efek. Setelah 10 menit mencari dan belum menemukan
kuci itu. Aku berjalan ke arah Angga yang masih membungkuk, mencari
kunci itu di salah satu laci. "Ang.. Apa nggak lebih baik.." Angga lalu
berdiri dan membalikkan badannya menghadapku. Aku tahu dia sempat
mencuri pandang ke arah dadaku sebelum melihat wajahku. Ia menelan
ludahnya. Aku mendekat padanya hingga jika aku melangkah sekali lagi
tubuhku akan langsung bersentuhan dengannya. Angga mencoba mundur, tapi
lemari besar itu menghalanginya. "Kenapa..? Tante..?", nafasnya terasa
menyentuh dahiku. Aku mendongak sedikit, menatap wajahnya. "Lebih baik
kamu.." Tanganku meraba otot bisepnya, padat.. "Mandi dulu.." Tanganku
yang satu menyentuh tepi bawah kostum basketnya.. "Terus ganti baju.."
Kedua tanganku mulai mengangkat kausnya.. "Kan, kamu keringetan gini.."
Tanganku setengah meraba otot-otot perutnya yang keras sambil terus
membawa kausnya ke atas.. "Nanti.. Kuncinya.. Dicari lagi.." Dadanya
cukup kokoh, dan terasa sekali paru-parunya mengembang dan mengempis
semakin cepat, jantungnya berdegup kencang.. Wajahku terasa panas,
jantungku ikut berdetak cepat. Angga mengangkat lengannya dan berkata,
"Ya Tante.." Tapi suara Angga lebih mirip desahan berat. Kuangkat lagi
kausnya ke atas dan Angga dengan cepat meneruskan pekerjaanku dan
kemudian melemparkan kausnya ke samping. Angga sekarang bertelanjang
dada, dengan celana selutut masih dikenakannya. Aku merapatkan badanku
padanya namun tiba-tiba aku berhenti setelah merasakan sesuatu mengenai
perutku. Aku mundur sedikit dan melihat ke arah dari mana sentuhan di
perutku berasal. "Oh..!", bisikku sedikit terkejut. Dari dalam celananya
terlihat tonjolan yang cukup panjang dan besar. Penis Angga.. Siluetnya
terlihat jelas dari celana basketnya yang longgar. Aku melihat wajah
Angga. Ia juga melihat tonjolan di celananya itu, sedikit terkejut,
kemudian melihatku. Napasnya menderu. "Eh, maaf tante.. aku.. Nggak
pernah.. Pake.." "Celana dalam? Nggak.. Pernah..?" potongku. Ia hanya
menggeleng dan kembali menatapku. Aku tersenyum. "Nggak apa-apa.. Lebih
baik gitu.." Wajah imutnya memperlihatkan keterkejutan. Tapi aku segera
kembali merapatkan tubuhku dan maju lebih berani. Kucengkram batang
kemaluannya dari luar celananya. Angga napak semakin terkejut dan
badannya berguncang sedikit. Kemudian semua berjalan menuruti nafsu kami
yang bergelora. Angga memelukku, membawa bibirku rapat ke bibirnya dan
melakukan ciuman paling bernafsu yang pernah aku terima dalam satu
dekade ini. Lidahnya bergelut liar dengan lidahku, bibirku digigitnya
pelan.. Kupegang kepalanya dan kurapatkan terus dengan wajahku.
Kuacak-acak rambutnya seakan aku ingin seluruh tubuhnya masuk ke dalam
ragaku. Angga mencoba menyudahi ciuman itu. Aku khawatir ia akan menolak
untuk bertindak lebih jauh, hingga aku tidak membiarkannya. Tapi aku
sudah sulit mengatur napasku, dan akhirnya kulepaskan wajahnya. Aku
tersengal, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ternyata Angga
sama sekali tidak berhenti. Saat aku ditaklukkan nafsu saat berciuman
tadi, Angga sudah berhasil melepaskan tank-topku tanpa sedikitpun aku
menyadarinya. Tank-top itu kini berada di bawah kakiku. Dan kini Angga
mulai menghisap dan menjilati leherku dengan buas. "Ohh.. Anngghh.." ini
dia yang selama ini kudambakan, gairah dan energi yang begitu meluap..
Lidah Angga bergerak lagi ke bawah.. Membasahi belahan dadaku.. Berputar
sebentar di sekitar puting kiriku, memberikan sensasi geli yang
nikmat.. Kemudian Angga melahap payudaraku. "Ouuhh.. Kamu.. Ahh.. Kurang
ajar yahh.. Hmmpphh.. Terusin Anngg.. Ahh.. Mmmhh.." Bocah ini..
Benar-benar bernafsu.. Ia lalu melakukan hal sama pada payudaraku yang
sebelah kanan dan segera membawaku ke ambang orgasme.. Aku
merasakannya.. Sedikit lagi.. Tapi ia tiba-tiba berhenti, membuatku
melihat ke bawah, ingin tahu apa yang terjadi. Ia berlutut, dan mencoba
melepaskan rok miniku. Tanganku bergerak cepat membantu Angga dan dua
detik kemudian rok itu sudah jatuh ke lantai. Aku mencoba melepaskan
pula celana dalamku, namun Angga lebih cepat.. Ia merobeknya.. Sejurus
kemudian lidahnya beraksi lagi.. Dalam liang kewanitaanku.. "Anggahh..
Kamuhh.. Nggak sopann.." Kumajukan pinggulku, rasanya aku ingin
membenamkan seluruh wajah Angga ke dalam vaginaku.. Lidah Angga yang tak
terlatih, membuatku harus membantunya menyentuh daerah yang tepat
dengan menggerakkan kepala bocah itu. "Uuuhh.. Di sini Anngghh.. Ohh..
Yeeaahh..!!" Angga terus bergerilya dalam gua-ku hingga aku merasakan
gelombang kenikmatan yang hebat. "Angghh.. Tante.. Mau.. Aaahh!!"
Tubuhku menggeliat seiring dengan orgasme yang melandaku. Angga dengan
liar menjilati cairan-ku sampai tetes yang terakhir. Kakiku terasa
lemas.. Pelan-pelan aku terduduk.. Dan kemudian berbaring di lantai..
Merasakan sisa-sisa kenikmatan yang telah Angga berikan sambil
terengah-engah.. Aku melihat ke arah Angga. Ia juga sedang
terengah-engah. Badannya berdiri kokoh di hadapanku. Badan kekarnya yang
berkeringat, berkilat oleh pantulan matahari sore yang menerobos
jendela kamar. Dan.. Tak ada lagi celana basket yang melekat di badan
itu. Pistolnya.. Mengacung tegak ke arahku. Batangnya begitu besar..
Pasti lebih dari 20 cm, dan tebal. Rambut tipis dari kemaluannya
berlanjut ke atas menuju pusarnya. Oh.. Begitu muda dan gagah.. "Tante..
Aku.." "Giliran Tante, Ang!" Aku berdiri, menghimpit tubuhnya dan
menjilati badan remaja itu. Tangannya yang kuat mengelus mendekapku
sambil mengusap punggungku. Saat kugigit-gigit putingnya, Angga mendesah
perlahan dan rambutku diacaknya. Tanganku dengan mudah mendapati
penisnya, kemudian kukocok pelan. Sementara itu lidahku mengembara di
otot-otot perut Angga. Kini aku sampai pada pusarnya. Lidahku terus
bergerak turun dan kulahap pucuk batang kejantanan Angga. Angga
menggeram. Kukulum batangnya dan aku puas mendengar Angga terus
mendesah. "Ooohh.. Tante.. Ahh.." Kucoba untuk menelan lebih dalam, tapi
ukuran penis Angga terlalu besar. Sudah saatnya.. "Ayo Ang, biar tante
ajarin caranya jadi lelaki.." Kuajak dia berbaring di lantai, lalu
pelan-pelan aku duduk di perutnya sambil memasukkan pistol Angga ke
'sarung'-nya, memastikan agar aku mendapatkan kenikmatan yang aku mau.
"Aaahh.. Angga.. Punya kamuhh.. Besaarr.. Uuhh.." Aku membelai dadanya,
dan mulai bergerak naik-turun. Angga melenguh dan memejamkan mata,
meresapi setiap gerakan yang kubuat. "Uuuhh.. Eegghh.. Aduhh.. Nggak
pernah.. Angga.. Ngerasain.. Enak kaya ginihh.." Setelah mulai terbiasa
dengan ritmeku, Angga membuka matanya. Tangannya memegang kedua
payudaraku yang naik turun. "Tante Nia.. Oohh.. Seksi banget.. Ahh.." Ia
memerasnya.. Dan terasa sangat nikmat.. Kini aku yang menghayati
permainan Angga. Tapi aku segera tersadar, kali ini AKU yang akan
memuaskan Angga. Aku mempercepat gerakanku, sambil sesekali
memutar-mutar pinggulku. "Ohh.. Tante.. Terusiinn.. Enaakk.. Aahh..
Mmmhh.." Tangannya beralih ke pantatku, mencoba ikut mengatur ritmeku.
Kuberikan apa yang Angga minta, kujepit batangnya dan aku semakin
bergoyang menggila. "Gini kan.. Mau kamu, Angghh.. Ehh.." "Uhh.. Yaa..
Ohh.. Aaagghh.. Kenceng bangett.. Ayo tante.." Aku bagai lupa daratan,
kenikmatan yang kurasa benar-benar membius, dan sebentar lagi.. Tinggal
sebentar.. "Tantee.. Oooaagghh!! Oh, yeaahh!!" "Annggaa.. Aaagghh..
Ohh.. Ohh.." Aku merasakan kenikmatan paling dahsyat dalam hidupku,
bersamaan dengan ejakulasi Angga. Kami berpelukan, berguling sementara
Angga masih meneruskan tikaman penisnya dalam vaginaku, membawaku
semakin jauh dari dunia ini.. "Ohh.. Anggaa.. Ohh.. Kamu.. Udahh.. Bukan
perjaka.. Lagi.. Ahh.." Ia menciumiku, memanjakan payudaraku,
membelai-belai rambutku.. Dengan napas yang tersengal-sengal Angga
berbisik di telingaku, "Duhh.. Nggak nyangkah.. Tante.. Nakal banget..
Ahh.. Tapi Angga.. Suka.. Dinakalin.. Tante.. Ehh.. Kontol Angga masih
ngaceng nihh.. ehh.. Mau Tante apain lagi..?" TAMAT