- Home >
- Kupuaskan Nafsu Janda Itu Hingga Dia Orgasme Berkali - kali
Posted by : NashGore
Minggu, 04 Desember 2016
Cerita Seks
Terbaru, Cerita Dewasa Hot, Cerita Mesum Seru - Setelah sebelumnya
cerita seks mesum - Cerita Dewasa Bergambar - Tak pernah sekalipun
terlintas dalam pikiranku kalau akhirnya aku harus menjadi seorang duda.
Bagiku kehidupan perkawinan yang kulalui selama ini didasarkan atas
rasa cinta. Aku mencintai istriku, begitu pula ia juga mencintaiku. Tapi
ternyata cinta saja tak cukup untuk membina sebuah rumah tangga yang
bahagia. Menginjak tahun ketiga usia perkawinanku, keutuhan rumah
tanggaku mulai goyah. Apalagi sejak kelahiran anak kami yang kedua yang
hanya berselang setahun dengan anak kami yang pertama. Aku memang
sepakat dengan istriku untuk berproduksi secepatnya dan akan sedikit
repot di awal-awal tahun perkawinan untuk membesarkan anak-anak dan
setelah itu kami baru akan konsentrasi untuk karir, cari uang dan tujuan
hidup yang lainnya.

Kupuaskan Nafsu Janda Itu Hingga Dia Orgasme Berkali - kali
Namun rupanya
rencana tak berjalan seperti yang kami harapkan. Istriku terpaksa harus
keluar dari kantornya yang bangkrut akibat krismon. Padahal kelahiran
anak keduaku bagaimanapun cukup menambah pengeluaran kami. Sehingga aku
terpaksa bekerja lebih keras, meskipun saat itu aku sudah menjadi wakil
manajer di perusahaanku. Aku mulai kembali mengajar di beberapa
perguruan dan akademi swasta, seperti yang pernah kulakukan pada saat
belum berkeluarga dulu. Di sinilah masalah keluarga mulai muncul.
Beberapa bulan menganggur, istriku mulai uring-uringan dan kelihatan
tertekan. Sementara aku harus sering pulang larut malam, karena aku
tidak hanya sibuk mengajar, tetapi juga mulai aktif dipanggil sebagai
pembicara di beberapa pertemuan-pertemuan bisnis. Kondisi seperti itu
berlangsung hampir satu tahun. Entah sudah berapa puluh kali aku
bertengkar dengan istriku. Dari masalah yang sepele hingga masalah yang
berkaitan dengan urusan ranjang. Istriku kurasakan mulai dingin dan tak
jarang menolak bila kuajak berhubungan intim. Sikapnya juga mulai aneh.
Beberapa kali aku menemui rumah dalam keadaan kosong karena istriku
pergi dan menginap di rumah orang tuanya bersama anak-anakku. Kadang ia
berada di sana selama satu minggu, meskipun aku sudah menyusulnya dan
mengajaknya untuk pulang. Singkat cerita, setelah kurang lebih satu
setengah tahun kondisi seperti itu berlangsung terus menerus, istriku
akhirnya meminta cerai. Aku kaget dan tak pernah menduga ia akan
melakukan itu padaku. Sulit bagiku untuk membujuk dan mengajaknya bicara
secara baik-baik. Bahkan kedua orang tua kami sampai ikut campur
mendamaikan. Akhirnya dengan berat hati aku harus berpisah dengan istri
dan kedua anakku. Pupuslah sudah angan-anganku membentuk Keluarga yang
Bahagia. Ada tiga bulan aku seperti orang linglung menghadapi cobaan
itu. Aku stres berat. Bahkan sempat hampir masuk rumah sakit. Aku
mendapatkan hak untuk menempati rumah kami. Tapi anak-anak ikut istriku
yang kini tinggal dengan orang tuanya. Sesekali aku menemui mereka,
karena anak-anakku masih kecil dan tetap perlu figur seorang ayah.
Kurang lebih setahun setelah perceraianku, aku mulai menjalin hubungan
lagi dengan seorang wanita. Maryati namanya, seorang janda tanpa anak.
Perkenalan kami terjadi sewaktu aku terlibat dalam sebuah kepanitiaan
temu bisnis yang diadakan sebuah perusahaan terkemuka di ibu kota.
Pertemuan demi pertemuan dan pembicaraan-pembicaraan di telepon akhirnya
berkembang menjadi acara kencan bagi kami berdua. Rasa kesepian yang
selama ini kualami seperti mendapat obatnya. Maryati memang seorang yang
wanita yang menarik dan menyenangkan bagi siapa pun laki-laki yang
mengenal dia. Entah kenapa ia memilihku. Mungkin kami sama-sama
berstatus cerai. Tapi ternyata ia punya alasan lain. Menurutnya ia
menyukaiku karena aku orangnya kalem tapi terlihat matang, dan
menurutnya lagi, wajahku ganteng dan ia suka dengan laki-laki yang
berkumis sepertiku. Komentar yang terakhir itu hampir sama dengan yang
pernah disampaikan oleh mantan istriku waktu kami pacaran dulu. Sebagai
laki-laki normal, terus terang di samping tertarik pada personalitasnya,
aku juga tertarik secara seksual dengan Dik Mar (demikian aku biasa
memanggil Maryati, sementara ia biasa memanggilku Mas Is, kependekan
dari namaku, Iskandar). Selama menduda, kehidupan seksualku memang cukup
menjadi suatu masalah bagiku. Karena aku bukan tipe yang bisa main
dengan sembarang orang, karena aku takut dengan berbagai risiko yang
nanti bisa menimpaku. Meskipun kuakui sekali dua kali aku terpaksa
melacur. Tapi jarang sekali aku melakukannya dan bisa dihitung dengan
jari. Itu pun kulakukan dengan penuh perhitungan dan hati-hati. Terus
terang selama ini aku lebih banyak menyalurkan hasrat seksualku dengan
cara onani sambil lihat BF atau majalah porno yang kumiliki. Maka ketika
aku mengenal Maryati, dan semakin mengenalnya lebih jauh lagi, serta
merasa yakin dengan siapa aku menjalin hubungan, aku tak sungkan-sungkan
lagi menyatakan kesukaanku padanya. Statusnya yang janda secara
psikologis membuatku lebih berani untuk berbicara dan bersikap lebih
terbuka dalam beberapa hal yang sensitif, termasuk masalah seks. Dan
seperti sudah kuduga semula, Maryati meresponku dengan baik. Kami
pertama kali melakukan hubungan intim di sebuah hotel di daerah Puncak.
Aku yang mengajaknya. Meskipun semula ia menolak ajakanku dengan halus,
tapi akhirnya aku berhasil mengajaknya bermalam di Puncak. Pagi itu kami
berangkat dari Jakarta sekitar jam 9 pagi. Selama perjalanan kami
mengobrol dan bercanda tentang berbagai hal, bahkan kadang-kadang
menyerempet ke masalah-masalah yang intim, karena kami sadar bahwa
kepergian kami ke Puncak memang untuk itu. Begitu tiba di dalam kamar
hotel, tubuh Maryati langsung kudekap dan kuciumi ia dengan mesra. Ia
membalasku dengan ciuman yang tak kalah hangatnya. Cukup lama kami
berciuman dalam posisi berdiri. Senjataku pun sudah lama berdiri sejak
mulai masuk lobby hotel tadi, karena terus membayangkan kejadian yang
bakal terjadi. Dadaku terasa berdegup keras sekali. Kurasakan pula
debaran jantung Maryati pada tanganku yang merayap-rayap di sekitar
dadanya. Memang baru pertama kali inilah kami berbuat agak jauh. Bahkan
bisa dipastikan kami akan lebih jauh lagi. Selama ini kami hanya sebatas
berciuman. Itupun baru kami lakukan sebanyak dua kali dan dalam suasana
yang tidak mendukung. Yang pertama terjadi di gedung bioskop dan yang
kedua waktu aku mampir ke kantornya dan sempat masuk ke ruang kerjanya.
Sehingga pada kedua kesempatan itu kami tak leluasa untuk saling
menjamah. Tapi kali ini, kami bisa saling menyentuh, meremas dan
melakukan apa saja dengan bebasnya. Tanganku berulang-ulang meremas
gemas bongkahan pantatnya, karena bagian tubuhnya itulah yang selama ini
paling kusukai tapi paling sulit kujamah. Sedangkan ia asyik menelusuri
dadaku dan mengusap-usap bulu yang tumbuh lebat di sana. Barangkali
bagian tubuhku itulah yang selama ini disukainya tapi sulit disentuhnya.
Dia memang pernah mengomentari tentang bulu dadaku yang memang bisa
terlihat jelas bila aku memakai kemeja biasa. Siang itu kami akhirnya
melakukan sesuatu yang sudah lama kami pendam. Terus terang kami
melakukannya dengan terburu-buru dan cepat. Bahkan pakaian tak sempat
kami buka semua. Maryati masih mengenakan rok dan blusnya. Hanya saja
blusnya sudah terbuka, demikian pula dengan BH-nya, sudah terkuak dan
menonjolkan isinya yang bulat padat itu. Sementara rok hitamnya sudah
kutarik ke atas pinggangnya dan celana dalamnya sudah kulepas sejak dari
tadi. Aku sendiri masih berpakaian lengkap, hanya beberapa kancing
bajuku sudah terlepas bahkan ada yang copot direnggut oleh tangan
Maryati. Sedangkan celana jeans dan celana dalamku tak sempat lagi
kulepas, hanya ikat pinggang dan ritsluitingnya saja yang kubuka.
Sehingga batang kemaluanku bisa langsung kujulurkan begitu saja dari
celana dalamku yang juga tak sempat kulepas. Segera Maryati
kutelentangkan di atas ranjang dan aku langsung melakukan penetrasi.
Tanpa ba bi Bu lagi aku segera tancap gas. Menusuk sedalam-dalamnya dan
mulai menggenjotnya. Kami berdua seperti balas dendam. Segera ingin
mencapai puncak. Suara erangan dan lenguhan terdengar bersahutan dengan
nafas kami yang saling memburu. Kami benar-benar bermain agak liar.
Mungkin karena sudah lama saling memendam birahi. Sehingga saat itu kami
lebih tepat disebut sedang bermain seks daripada bermain cinta.
Akhirnya permainan kami selesaikan dengan cepat. Kami tak sempat
melakukan variasi atau posisi gaya yang macam-macam. Cukup gaya
konvensional saja. Yang penting kami berdua bisa mencapai puncak
kenikmatan. Maka begitu Maryati sudah mendapat orgasmenya, aku langsung
menggenjotnya dengan semangat dan tak lama kemudian aku pun mengerang
seiring dengan muncratnya cairan kenikmatan dari batang kemaluanku dalam
tubuhnya, berkali-kali. Aku lalu merebahkan badanku memeluk tubuh
Maryati dengan nafas tersengal-sengal. Ia membalasku dengan
mengusap-usap rambutku dan menciumi kepalaku. Kami lalu berciuman dengan
lumatnya. “Aku mandi dulu ya Mas..” tiba-tiba Maryati melepas
pagutannya dan beranjak dari posisi telentangnya. Sebenarnya aku masih
ingin berdekapan. Tapi segera kuikuti langkahnya menuju kamar mandi.
Kulihat ia mulai melepas sisa pakaiannya. Aku memandangnya sambil
bersandar pada pintu kamar mandi. Bibirnya terus tersenyum membalas
pandanganku yang terus lekat selama ia melepas pakaiannya satu persatu.
Sementara aku melongo menyaksikan striptease gratis di depanku. Sampai
akhirnya ia benar-benar bertelanjang bulat. Baru kali ini aku melihat
tubuhnya dalam keadaan benar-benar polos. Selama ini aku hanya bisa
membayangkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. Kini aku bisa melihat
semuanya. Terpampang jelas. “Mau gabung?” katanya menggoda. Dan aku
memang tergoda. Langsung kucopot pakaianku yang sebagian besar sudah
setengah terbuka lalu sengaja kusisakan celana dalam saja. Aku langsung
menuju ke arahnya. Lalu kembali kami berciuman. Tangannya langsung
meremas-remas milikku yang sudah agak lemas dan masih terbungkus celana
dalam itu. Sementara aku pun sibuk memainkan puting susunya dengan
jari-jariku. Permainan seperti ini sebenarnya pernah kami lakukan. Hanya
bedanya kali ini kami melakukannya dalam keadaan tubuh telanjang.
“Mas..” bisiknya di sela-sela acara saling memagut dan meremas. “Ya,
sayang?” balasku. “Sudah kuduga, punya Mas Iskandar pasti gede.” “O ya?”
“Ya”, sambil tangannya meremas kuat milikku. Aku mengerang tertahan,
enak. “Aku juga sudah menduga..” kataku sambil mengarahkan jariku ke
sela-sela pahanya. “Apa?” tanyanya. “Punya Dik Mar pasti legit..” “Kayak
apa sih yang dibilang legit itu?” “Ya kayak tadi”, jawabku sambil
menusukkan jari tengahku ke celah bibir kemaluannya. Terasa agak seret
tapi lentur dan sedikit lengket. Itulah legit. Aku mulai terangsang.
Milikku pelan-pelan mengembang dan mengeras. “Masshh..” ia mulai
merintih ketika sambil tanganku bermain di bawah sana, mulutku juga
mulai merambah telinga, leher dan berhenti di ujung buah dadanya yang
telah mengeras. Jilatan dan isapan mulutku makin membuatnya
merintih-rintih kenikmatan. Sementara tangannya kini sudah menelusup
masuk ke celana dalamku dan meremas-remas isinya dengan gemas. Membuatku
makin tegang dan ingin segera menyetubuhinya lagi. “Mau lagi?” tanyaku
agak berbisik. Ia mengangguk. “Sekarang?” tanyaku lagi. Dan ia
mengangguk lagi. Akhirnya kami melakukannya lagi di dalam kamar mandi.
Bahkan kami tak sempat mandi lebih dahulu sesuai rencana semula. Tapi
kali ini kami ingin bermain cinta, tidak semata-mata main seks seperti
tadi. Semua berawal ketika ia melepaskan celana dalamku dan lalu
memintaku untuk segera menusuknya. Segera kuangkat dan kududukkan
tubuhnya di atas meja wastafel. Lalu dalam posisi berdiri aku langsung
menghujamkan kejantananku ke sela-sela pahanya yang segera dibukanya
lebar-lebar. Kami berdua kembali bernafsu. Bibir kami saling melumat dan
tangannya langsung merangkulku erat-erat. Sementara pinggulku spontan
menyentak-nyentak, mengayun dan menghujam dengan liarnya. Gerakan yang
sudah lama tak kulakukan. Kurasakan Maryati pun sepertinya sudah lama
tak menikmati permainan cinta seperti ini. Kedua kakinya melilit
pinggangku dengan ketatnya. Kedua tangannya terus mencakar punggungku
bila dirasakannya aku menusuknya terlalu dalam. Kudengar mulutnya
mendesis dan melenguh bergantian. Aku sendiri hanya bisa mendengus dan
menahan agar tak keluar terlalu cepat. “Mass Iss.. Mass Isshh..” ia
mulai memangil-manggil namaku. Sepertinya ia sudah mau orgasme. Maka aku
terus mempergencar gerakanku. Kurengkuh kedua pantatnya dan kutekan ke
depan sehingga membuat batang kemaluanku makin melesak dalam liang
surganya. Berkali-kali kulakukan gerakan itu sehingga makin membuatnya
meneriakkan namaku berulang-ulang. Akhirnya kurasakan badannya menggigil
hebat dan mulutnya merintih panjang. Orgasmenya datang. Cukup cepat
menurutku, seperti waktu kami main di ranjang tadi. Ia ternyata memang
cepat panas. Sejenak aku menghentikan gerakanku. Kubiarkan Maryati
menikmati sendiri puncak birahinya. Aku mencoba membantu menambah
kenikmatannya dengan cara menjepitkan jempol dan telunjukku pada kedua
puting susunya dan melintirnya pelan-pelan. Bola matanya sayu
menggantung, meresapi rasa nikmat yang tengah melanda sekujur tubuhnya.
Tangannya mencengkeram erat bahu dan punggungku. Sementara kakinya makin
kuat menjepit, sebelum akhirnya pelan-pelan mengendor. Nafasnya kini
mulai satu-satu. “Enak Dik?” tanyaku nakal. “Enak.. Mas.. enak sekali..”
jawabnya masih dengan nafas satu-satu. “Mas Iskandar belum keluar?”
lanjutnya sambil matanya melihat sebagian batang kemaluanku yang masih
tertancap di jepitan pahanya. “Belum dong. Ini kan ronde kedua”, kataku
sambil tersenyum. Sebenarnya aku tadi juga hampir muncrat. Meskipun
ronde kedua, tapi aku agak tak kuat juga menahan laju birahiku yang
sudah lama tak tersalurkan. Tapi untuk permainan kali ini aku berusaha
menahan sekuatnya. Karena ini benar-benar pengalaman pertamaku bermain
cinta dengannya, harus sip. Pelan-pelan pinggulku mulai kugoyang lagi.
Kutatap matanya lekat-lekat sambil terus kugerakkan pinggul dan pantatku
maju mundur. Ia kembali tersenyum merasakan gerakanku yang sengaja
kubuat pelan tapi mantap. Diaturnya posisinya sehingga aku bisa
melakukan tusukan lebih dalam. Kembali kami berdua bekerja sama mencapai
puncak kenikmatan. Kukocok-kocokkan terus batang kemaluanku dalam liang
senggamanya. Sementara bibirku sibuk menelusuri telinga dan lehernya
dengan ganas. Ia sampai menggelinjang ke sana ke mari karena kegelian.
Punggungnya lalu terasa menegang ketika mulutku mampir ke buah dadanya
dan mulai bermain-main di situ. Putingnya yang coklat dan menonjol besar
itu kini menjadi bulan-bulanan lidah dan bibirku. Kubuat beberapa
cupang merah di gundukan kedua bukit dadanya. Mulutnya memintaku untuk
terus menyedot susunya. Dan aku melakukannya dengan senang hati.
Pertahananku akhirnya bobol ketika secara pelan-pelan kurasakan batang
kemaluanku terasa dijepit oleh dinding yang makin menjepit dan
berdenyut-denyut. Beberapa saat kunikmati sensasi itu. Sensasi yang
sudah lama tak pernah kurasakan. Tampaknya Maryati hampir mendapatkan
orgasmenya yang kedua. Maka dengan perlahan-lahan penuh konsentrasi aku
mulai mengayun pinggulku, mengayun dan terus mengayun, dan akhirnya
menjadi gerakan menyentak-nyentak yang makin lama makin kuat. Membuat
tubuh Maryati terlonjak-lonjak. Beberapa kali kutekan pantatku kuat-kuat
ke depan. Menusuk dan mengocok. Dan pada tusukan yang kesekian,
mulailah muncul rasa geli yang berdesir-desir pada pangkal kemaluanku.
Makin lama desiran itu makin kuat, makin geli, makin enak, makin nikmat.
Akhirnya aku tak kuat lagi menahan desakan cairan yang terasa mengalir
dari kemaluanku yang kemudian meluncur sepanjang batang kemaluanku
sampai akhirnya menyemprot kuat berkali-kali dari lubang kecil di ujung
kepala kemaluanku. Cairan kental hangat itu makin melicinkan dinding
liat milik Maryati sehingga memudahkan gerakan-gerakan yang mengiringi
ejakulasiku. Dan gerakan-gerakan yang kubuat ternyata telah memicu
kembali puncak birahi Maryati. Akhirnya yang terdengar adalah erangan
kami berdua, saling bersahutan. Lalu diam. Tinggal suara dengusan nafas
kami yang tersengal-sengal. Kami tadi tak sempat mandi sesuai rencana
semula, tapi tubuh kami kini benar-benar telah basah karena keringat.
Berdua kami berpelukan meresapi rasa nikmat yang sudah lama tak kami
rasakan. Aku mau mencabut milikku, tapi dengan gaya manja Maryati
melarangku. Ia lalu malah menciumku dan memintaku untuk menggendongnya
ke arah shower. Dililitkannya kedua kakinya pada pinggangku lalu dengan
batang kemaluan masih terselip di selangkangannya, kugendong tubuhnya
menuju shower. Selanjutnya kami pun mandi bersama. Malam harinya kami
mengulang kembali kejadian siang itu dengan permainan yang lebih
bergairah. Begitulah pengalaman pertamaku dengan Maryati. Pengalaman
pertamaku bermain cinta yang sebenarnya dengan seorang wanita yang
kusukai sejak aku menduda setahun yang lalu. Hari-hari selanjutnya aku
dan Maryati sudah bagaikan suami isteri yang sah saja. Tak jarang ia
menginap di rumahku atau sebaliknya. Hubungan kami sangat hangat dan
mesra. Bahkan menurutku lebih mesra dibandingkan dengan mantan istriku
yang dulu (sebenarnya aku tak ingin membuat perbandingan, tapi itu sulit
kuhindari dan memang demikianlah kenyataannya). Waktu pertama kali
kenal dengan Maryati, aku tak pernah mempunyai pikiran untuk menjadi
orang terdekatnya. Terus terang aku memang menyukainya, tapi hanya
berani sebatas mengaguminya saja. Apalagi waktu itu aku dengar ia sedang
menjalin hubungan dengan manajer sebuah perusahaan asing, seorang
ekspatriat. Jadi kupikir ia punya selera bule dan aku merasa tidak masuk
dalam hitungannya. Sampai suatu ketika, pada suatu malam, sehabis kami
bertemu dalam sebuah acara dinner party, ia memintaku untuk mengantarnya
pulang. Kebetulan saat itu ia tidak bawa mobil karena sedang masuk
bengkel. Sebagai teman, dan juga sebagai lelaki, aku tentu saja tak bisa
menolak permintaannya. Selama perjalanan menuju rumahnya, kami
mengobrol kesana kemari. Saat masih berada di mobil, entah dalam konteks
apa kami bicara, tiba-tiba kami terlibat dalam obrolan yang akhirnya
kelak mengarah pada sebuah hubungan yang makin akrab. “Apakah Mas Is
nggak pernah merasa kesepian?” itu pertanyaan pribadinya yang pertama
kuingat. Pandangannya tetap lurus ke depan kaca mobil. “Yah, namanya
juga sendiri”, aku menjawab sekenanya, setelah sebelumnya agak gelagapan
menerima pertanyaan yang agak sensitif itu. “Memang kenapa?” aku mulai
berani memancing. “Ya tidak apa-apa, cuma nanya saja kok. Nggak boleh?”
“Boleh..” Beberapa menit kemudian kami saling terdiam. “Dik Mar sendiri
bagaimana?” “Ya, sama..” “Sama bagaimana?” “Ya sama. Kadang-kadang
merasa sepi juga..” “Lho, katanya sedang dekat sama Mister..” “Kata
siapa?” katanya memotong seolah memprotes omonganku. “Ya, saya hanya
dengar-dengar saja.” “Gosip itu Mas!” “Bener juga nggak pa-pa kok.” “Mas
Is percaya?” Aku diam saja. “Saya percaya. Karena orang seperti Dik Mar
pasti banyak yang suka dan mudah kalau mau cari teman.” “Kalau asal
cari teman sih memang gampang. Tapi yang cocok? Sulit!” “Masak nggak ada
satu pun yang cocok? Memang cari yang seperti apa?”, pancingku mesra.
Maryati tertawa dan menyahut cepat, “Yang seperti Mas Iskandar!” Aku
tertawa meski agak terkejut juga dan sedikit GR dengan ucapannya. Tapi
aku lalu menganggap dia hanya bercanda dan aku pun lalu menanggapi
dengan bercanda juga. “Wah, saya sih jauh kalau dibandingkan sama
Mister..” “Tuh kan! Dibilang itu cuma gosip, nggak percaya!” ia memotong
kalimatku. “Iya deh, percaya..” “Lagi pula, dia bukan tipe saya”,
nadanya agak menurun. “Saya lebih suka tipe laki-laki yang kalem,
tenang.. tapi macho.. seperti Mas Is..” Kali ini aku tidak lagi
menganggap dia sedang bercanda. Karena ia mengucapkan kalimat itu dengan
nada yang terjaga dan kemudian menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku
jadi nervous. Aku ikut tersenyum dan spontan menghela nafas. Aku menoleh
ke arahnya dan ia masih tersenyum tapi kini wajahnya agak tertunduk.
“Dik..” aku mencoba memanggilnya, seolah ingin mendapat penegasan. “Ya,
Mas..” ia menjawab dan menatap ke arahku, lalu tersenyum. Dari sikap dan
ekspresi wajahnya, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri sebelum
akhirnya kuberanikan diri untuk menggenggam tangannya. Dan ia diam saja.
Bahkan kemudian membalas remasan tanganku. Itulah peristiwa yang
mengukuhkan hubunganku dengan Maryati. Malam itu aku hanya mengantarnya
sampai depan pintu pagar saja. Menjabat tangannya. Tak lebih dari itu.
Tapi aku bahagia. Dan aku yakin ia juga bahagia. Ketika sampai di rumah,
aku langsung menelponnya. Ada kurang lebih satu jam lamanya kami
ngobrol, saling mengungkapkan perasaan kami berdua selama ini.
Selanjutnya kami rajin saling menelepon dan mengadakan pertemuan demi
pertemuan, mulai dari makan siang, belanja, nonton atau jalan-jalan. Aku
pertama kali menciumnya waktu berada di bioskop. Tapi suasana waktu itu
kurang mendukung untuk bercumbu secara total. Karena kami dalam posisi
duduk berjejer, maka kami hanya bisa saling meraba, menyentuh dan
sesekali berciuman. Bila aku memegang atau menyentuh bagian tertentu
tubuhnya, ia akan diam saja. Demikian sebaliknya. Beberapa kali kami
sempat berciuman, meski tak sempat lama. Tapi kami cukup menikmati
kencan di bioskop saat itu. Bahkan tanganku sempat menelusup masuk ke
celah roknya tapi hanya bisa mengelus-elus pahanya saja, karena saat itu
rok yang dikenakan Maryati agak panjang. Sementara tangan Maryati
relatif lebih bebas menyentuhku. Tapi ia benar-benar hanya menyentuh
saja, meski sesekali memberi pijitan pada bagian depan celanaku yang
menonjol karena isinya sedang menegang. Aku sebenarnya mengharap ia
melakukannya lebih dari itu. Tapi lagi-lagi, suasana bioskop saat itu
tak terlalu mendukung. Baru pada kesempatan kedua kami sempat bercumbu
cukup panas. Kesempatannya terjadi waktu aku berkunjung ke kantornya dan
masuk ke ruangan kerjanya. Ketika itu ia minta ijin sebentar untuk ke
toilet pribadinya, aku segera menyusulnya dan kami lalu berciuman di
lorong menuju ke arah toilet itu. Kami lalu berciuman dengan penuh
gairah. Saat itulah pertama kali aku benar-benar bisa merasakan
kehangatan dan kelembutan bibirnya. Sudah lama kami tak melakukan
percumbuan seperti ini. Sehingga nafas kami terdengar memburu dan kami
berciuman dengan lahapnya. Dan karena suasananya agak mendukung, aku pun
berani menjamah bagian-bagian tubuhnya yang sensitif terutama dada dan
pantatnya yang selama ini hanya bisa kupandang. Maryati pun juga mulai
berani meremas milikku yang sudah mengeras dari balik celana pantalon
yang kukenakan. Aku lalu membalasnya dengan menekankan telapak tanganku
ke celah pahanya yang tertutup rok kantor dan meremas bagian yang ada di
sana. Meski begitu, kami tetap tak bisa leluasa untuk melakukan hal-hal
yang lebih jauh. Karena bisa saja sewaktu-waktu ada karyawan yang akan
masuk sementara kami dalam keadaan kusut masai. Jadi kami tetap harus
menjaga semua ini. Tapi setidak-tidaknya kami bisa saling meluapkan
kerinduan kami dengan bercumbu sambil saling menyentuh. Pada pertemuan
di kantor itulah aku mencoba mengajaknya untuk suatu saat berkencan
lebih jauh di suatu tempat yang lebih leluasa untuk melakukannya.
Maryati tidak mengiyakan atau menolak ajakanku. Ia hanya menunjukkan
sikap dan jawaban yang tampaknya masih hati-hati dan perlu waktu untuk
memikirkannya. Dan aku menghargai sikapnya itu. Sampai akhirnya aku
berhasil membawanya pergi ke Puncak sebagaimana telah kuceritakan pada
bagian pertama. Kini hubungan kami sudah semakin dekat. Kencan lebih
banyak kami lakukan di luar rumah. Karena bagaimana pun, status kami
sebagai sebagai duda dan janda sedikit banyak pasti mendapat sorotan
tersendiri di lingkungan kami masing-masing. Jadi aku dan Maryati harus
bisa menjaga hubungan ini agar tak terlalu menyolok. Untuk itu aku lebih
senang kalau Maryati saja yang bertandang ke rumahku, daripada aku yang
harus ke rumahnya. Hal ini untuk menjaga kesan bagi diri Maryati
sebagai seorang janda, di samping karena lingkunganku juga relatif lebih
aman. Beberapa kali ia sempat menginap di rumahku. Sementara aku baru
dua kali menginap di rumahnya. Pertama kali Maryati kuajak ke rumahku
adalah sehabis aku mengantarnya jalan-jalan membeli arloji, kira-kira
seminggu setelah kejadian di Puncak. Berhubung waktu pulang hujan cukup
lebat, aku harus mengambil jalan memutar yang cukup jauh menuju rumahnya
untuk menghindari wilayah yang biasanya banjir. Kebetulan jalan yang
harus kuambil melewati jalan menuju kompleks rumahku. Maka daripada
tanggung, aku menyarankan Maryati untuk mampir sebentar. “Lama juga
nggak pa-pa” katanya menggoda. “Jangan ah.. Takut!” sahutku gantian
menggodanya. “Takut apa?” “Takut tidak terjadi apa-apa.. ha.. ha.. ha..”
“Iiihh.. dasar!” sambil tangannya mencubit pahaku. Aku berteriak,
meskipun cubitannya tidak sakit. “Cubit yang lainnya dong..” aku
menggodanya lagi. “Maunya!” Tapi tangannya kemudian terulur ke arah
selangkanganku dan mulai menarik retsleting celana jeans-ku ke bawah.
Masih dalam posisi menyetir, aku segera mengatur posisi dudukku agar ia
bisa leluasa membuka celanaku. Dalam sekejap milikku sudah terjulur
keluar dari celah atas celana dalamku. Milikku mulai membesar tapi belum
tegang. Tangan kanan Maryati lalu mulai beraksi meremas dan
memijit-mijit. Maka segera pula otot pejal kebanggaanku itu mulai bangun
berdiri. Aku berusaha berkonsentrasi dengan setir mobil. Apalagi di
luar sana hujan makin lebat. Wiper yang bergerak-gerak seperti tak mampu
menahan air hujan yang turun meleleh di kaca depan. Sebagaimana aku tak
dapat menahan rasa geli yang mulai muncul ketika tangan Maryati
pelan-pelan mulai mengocok. Batangku dijepitnya hanya dengan menggunakan
jempol dan jari tengahnya. Lalu dengan cara seperti itu ia membuat
gerakan memijit dan mengocok bergantian. “Digenggam dong..” kataku
menuntut. “Tadi katanya minta dicubit”, jawabnya sambil melakukan
gerakan mencubit pelan pada pangkal kemaluanku yang kini sudah mengeras.
Membuatku menggelinjang. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Ya sudah,
aku nikmati saja apa yang dilakukan. Bahkan aku kemudian menjulurkan
tangan kiriku ke arah buah dadanya yang terbungkus blus tanpa kancing,
sementara tangan kananku tetap memegang kemudi. Kurasakan buah dadanya
sudah mengeras kencang. Aku makin bernafsu meremasnya. Maka mulailah
acara saling meremas dan memijit, di dalam mobil, di tengah hujan deras.
Tampaknya Maryati mulai terangsang dengan gerayangan tanganku pada buah
dadanya. Ia memintaku untuk melakukannya di bagian tubuhnya yang lain,
ketika tangannya tiba-tiba menuntun jariku menuju ke sela-sela pahanya
yang sengaja dibukanya agak lebar. Roknya sudah ia tarik ke atas sebatas
pinggul. Maka jari-jari tangan kiriku pun segera beraksi di bagian
depan celana dalamnya yang menyembul hangat dan sudah mulai lembab itu.
Pandanganku tetap harus ke depan, ke arah jalan yang mulai masuk ke
kompleks rumahku. Sedangkan Maryati bisa dengan enaknya
menggeliat-geliat sambil mendongakkan kepalanya menikmati gelitikan
jariku pada bagian luar CD-nya tepat di bagian celah kemaluannya.
Sementara tangan kanannya kini tak lagi memijit-mijit, tapi sudah
menggenggam batang kemaluanku yang makin meradang karena terus
dikocok-kocok olehnya. Aku menarik tanganku dari sela paha Maryati
ketika mobil sudah mulai masuk ke jalan menuju rumahku. Maryati sempat
mendesah ketika aku menghentikan aksiku. “Sudah sampai..” kataku memberi
alasan sekaligus mengingatkan dia. Ia segera membenahi pakaiannya dan
kemudian gantian membereskan celanaku yang sudah setengah terbuka.
Kemaluanku yang belum sepenuhnya lemas, agak sulit untuk dibungkus
kembali. “Bandel nih!” gerutu Maryati. “Gede sih.. hehehe..” aku tertawa
melihatnya kesulitan memasukkan batang kemaluanku kembali ke celana.
“Sudah biarin, nanti juga kan dikeluarin”, lanjutku. Maryati lalu
kusuruh turun duluan menuju teras. Aku kemudian memasukkan mobil ke
garasi, membetulkan celanaku dan kemudian bergegas keluar garasi menuju
teras menyusul Maryati yang rambut dan pakaiannya terlihat agak basah
oleh air hujan. Kami lalu segera masuk ke dalam rumah. Inilah pertama
kali Maryati berkunjung ke kediamanku. Ia agak sedikit canggung dan
terlihat kurang nyaman ketika berada di ruang tamu. Apalagi kondisi
tubuhnya agak basah oleh air hujan. Blusnya yang basah menampakkan
bagian gumpalan dadanya yang sedikit menyembul dari BH yang
dikenakannya. Aku kembali terangsang melihat pemandangan itu. Segera
kupeluk tubuhnya dan kami pun lalu tenggelam dalam ciuman yang
bergelora. Birahi kami memanas kembali. Ciuman pun berkembang menjadi
acara saling meremas. Saling menekan. Saling merangsang. Kami berdua
lalu membantu melepaskan pakaian satu sama lain dan membiarkannya
terserak di lantai ruang tamu. Tubuh telanjang kami pun menempel makin
lekat. “Di sini saja..” katanya ketika aku akan menariknya untuk masuk
ke kamar tidur. Kami kemudian memilih sofa ruang tamu sebagai tempat
main. Di luar hujan masih turun dengan derasnya. Suara tempaan airnya
menyamarkan desahan dan lenguhan yang keluar dari mulut kami berdua.
Tubuh bugil kami bergelut dengan penuh gairah di atas sofa tamu itu.
Beberapa saat kemudian Maryati meminta ijinku untuk melakukan oral seks.
Tentu saja kuijinkan. Ia memang senang dengan milikku yang katanya
punyaku ukuran besar terutama di bagian kepalanya. Sehingga ia senang
sekali melumat dan mengisap bagian kepala kemaluanku yang kini terlihat
bulat membonggol dan tampak licin mengkilat akibat lumuran ludahnya.
Selama ia melakukan permainan mulut, aku berusaha mengimbanginya dengan
merangsang bibir kemaluannya dengan jariku. Saat itu posisiku setengah
rebahan dan menyandarkan kepalaku pada sandaran sofa. Sedangkan Maryati
berbaring miring setengah telungkup di samping pinggangku. Ia menggeliat
ketika jari tengahku mulai menerobos masuk ke celah miliknya, sementara
jempolku bermain-main pada klitorisnya. “Ouu..” jeritnya tertahan.
“Kenapa? enak?” tanyaku sambil menusukkan jari tengahku lebih dalam dan
memutar lebih keras jempolku pada tonjolan kecil di atas bibir
kemaluannya. Kembali mulutnya bersuara, tapi kali ini lebih riuh dan
lebih mirip desisan. Sejenak mulutnya terlepas dari batang kemaluanku.
Tapi sesaat kemudian ia menunduk kembali dan melumat habis pisang
ambonku hampir ke pangkalnya dan mengisapnya sedemikian rupa sampai aku
merinding kegelian. Pantatku sempat tersentak-sentak karena kenikmatan.
“Kenapa? enak ya?” katanya sambil melirikku, lalu melanjutkan kulumannya
kembali. Sepertinya Maryati ingin membalas atau mungkin ingin
mengimbangi perbuatanku tadi. Selanjutnya kami tak sempat bicara sepatah
kata pun karena terlalu serius untuk saling melakukan dan menikmati
rangsangan. Mataku terpejam mencoba menikmati setiap hisapan mulut
Maryati, sementara jari-jari tangan kananku terus asyik bermain-main di
sekitar liang kewanitaannya. Berbeda dengan milikku, rambut yang tumbuh
di sekitar kemaluan Maryati tak terlalu lebat, tapi tumbuhnya lebih
halus dan rapi. Dan aku suka sekali mengusap-usapnya. Sedangkan rambut
kemaluanku tentu saja lebih kasar dan lebat tumbuhnya hingga ke arah
pusar, perut dan dada. Maryati juga suka mengusap-usap bulu-bulu yang
tumbuh di sekitar tubuhku itu. Katanya, dengan kondisi seperti itu, aku
seperti nyomet, demikian ia memplesetkan istilah monyet. Siang itu
akhirnya kami melakukannya sampai dua kali. Ronde pertama diawali ketika
Maryati mulai bangkit dari posisi tengkurapnya, lalu mulai mengangkangi
pinggulku, dan kemudian menelusupkan batang kejantananku yang sudah
tegang keras itu ke sela-sela pahanya. Dengan posisi antara duduk dan
bersandar, aku mencoba membantunya dengan sedikit mengangkat pantatku ke
atas. Maka sedikit demi sedikit amblaslah kepala kemaluanku ditelan
mulut kecil yang ada di selangkangannya. Terasa sekali liang ketat namun
lembut menjepit sepanjang batang kemaluanku. Rasanya hangat, lembut dan
agak-agak terasa kesat. Kenikmatan semakin terasa ketika kepala
kemaluanku yang sensitif itu menyentuh ujung dinding kemaluan Maryati.
Sejenak Maryati memutar-mutar pinggulnya seolah merayakan pertemuan
total itu. Secara spontan kami berdua serempak memperdengarkan rintihan
kenikmatan. Maryati pun tampaknya meresapi jejalan batang dan gesekan
urat yang ada di sekujur kemaluanku. Mulutnya mendesis-desis seperti
orang kepedasan. Beberapa kali jarinya berusaha menyentuh bagian luar
bibir kewanitaannya seperti mau menggaruk seolah kegelian. Maryati
kemudian mengatur posisi berlututnya sedemikian rupa dan beberapa saat
kemudian ia mulai menggenjot tubuhnya naik turun. Makin lama genjotannya
makin cepat, sehingga membuat buah dadanya tampak berayun-ayun di depan
wajahku. Mulutku segera menangkap putingnya yang sudah mengeras itu dan
segera melumatnya habis. Ia menjerit tertahan. Tapi aku tak
mempedulikan dan bahkan makin asyik mengulum kedua bukit padatnya itu
bergantian. Sementara di bawah sana pinggulku terus menyentak-nyentak
mengimbangi genjotannya di atas tubuhku. Terasa sekali rasa nikmat
menjalar di sekitar pangkal dan sekujur batang kemaluanku. Suara hujan
di halaman depan makin membuatku bergairah. Entah sudah berapa lama kami
dalam posisi seperti ini. Kami hanya bisa saling memperdengarkan
rintihan dan desah kenikmatan. Tubuh Maryati pun terus meliuk dan
menggeliat-geliat di atas tubuhku. Kedua pahanya yang sejak tadi
mengangkang dan bertumpu di jok sofa, mulai kuelus-elus. Dan ia
menyukainya karena lenguh kenikmatannya makin kerap terdengar. Elusanku
lalu bergeser ke bukit pantatnya. Tapi kini aku tak lagi mengelus.
Tanganku lebih sering meremas di bagian itu. Membuat Maryati makin
menggelinjang. Kami mengakhiri permainan ketika Maryati mulai
menunjukkan tanda-tanda akan mencapai puncak birahi. Aku segera
mempergencar tusukan dan hentakanku dari bawah. Kedua tangannya sudah
memeluk kepalaku sehingga membuat wajahku terbenam di belahan dadanya.
Kedua kakinya kini menjepit erat pinggangku. Sementara posisi
bersandarku sudah agak merosot ke bawah. Beberapa menit kami masih
sempat bertahan dalam posisi itu sambil terus berpacu menuju puncak
kenikmatan. “Mass.. Masshh.. Mass Isshh..” “Dik Maarrhh.. oohh.. Dik..”
Kami saling memanggil nama masing-masing. Entah apa maksudnya.
Barangkali untuk menyatakan kemesraan, atau untuk mencoba menahan rasa
nikmat yang mulai sulit kami kendalikan. Ketika nada jeritan Maryati
mulai terdengar agak keras, aku segera mengangkat tubuhnya, membalikkan
dan membaringkannya ke badan sofa. Kini dalam posisi aku berada di atas,
kugenjot tubuhnya habis-habisan sampai kami berdua akhirnya mencapai
orgasme hampir bersamaan. Aku mengerang-ngerang ketika kurasakan air
maniku mulai menyembur. Ada sekitar empat kali aku menembakkan air
maniku. Alirannya terasa sepanjang batang kemaluanku. Rasanya
berdesir-desir nikmat. Maryati pun kulihat menikmati puncak birahinya.
Wajahnya memerah dan matanya terpejam. Sementara tubuhnya sesekali
bergetar menahan rasa geli yang menjalar di seluruh tubuhnya. Aku segera
melumat bibirnya dan kami pun melengkapi puncak kenikmatan ini dengan
ciuman yang dalam dan lama. Sesekali tubuh kami tersengal oleh sisa-sisa
letupan kenikmatan yang belum sepenuhnya reda. Suara riuh hujan tak
terdengar lagi. Hanya bunyi tetes-tetes air yang berdentang-dentang
menimpa atap seng. Entah sejak kapan hujan mulai reda. Kami terlalu
sibuk untuk memperhatikannya. Kami masih berbaring di atas sofa. Maryati
berbaring di atas tubuhku yang telentang. Tanganku mengusap-usap
punggungnya yang masih bergerak-gerak halus seiring nafasnya. Sementara
tangannya bermain-main di sekitar bulu dada dan perutku yang masih basah
oleh keringat. “Tidur di sini ya..” kataku membujuknya. “Tidur di sini?
Di sofa ini?” tanyanya. “Bukan. Maksudku Dik Mar malam ini nginep di
rumahku”, jelasku. “Oo.. Boleh.. Tapi hadiahnya apa?” sahutnya mulai
manja. “Hadiahnya?” tanyaku bingung. Aku terdiam sejenak, dan kemudian
kuraih tangannya lalu kuarahkan ke batang kemaluanku yang sudah mulai
melemas, “Niih.. hadiahnya!” Ia tergelak dan kami lalu tertawa bersama.
Tangannya kemudian meremas milikku. Meremas dan terus meremas.
Selanjutnya kami pun akhirnya kembali bergelut di atas sofa itu,
mempersiapkan permainan berikutnya. Tapi untuk ronde kedua ini kami akan
menyelesaikannya di kamar tidur. Setelah puas melakukan pemanasan di
atas sofa di ruang tamu, kami lantas beranjak masuk ke kamar tidurku.
Inilah pertama kali Maryati masuk ke sini. Sebenarnya sudah lama aku
ingin mengajaknya masuk ke ruangan ini. Tapi baru pada kesempatan inilah
keinginanku kesampaian. Bahkan aku tidak hanya kesampaian membawanya
masuk, tapi sebentar lagi aku juga kesampaian untuk menidurinya di atas
kasur yang selama menduda ini hanya kupakai tidur sendirian. Begitu
pintu kamar tertutup, Maryati langsung memelukku dan kami berciuman
dengan mesranya. Kulit tubuh kami yang sudah polos telanjang itu seolah
telah menjadi konduktor yang saling mengirimkan panas birahi yang terus
menggelegak. Batang kemaluanku yang tegang berat itu menempel ketat
tepat di atas belahan kemaluannya mengacung ke arah pusarnya. Dengan
posisi demikian kantong zakarku langsung bergesekan dengan rambut
kemaluannya. Rasanya geli. Apalagi Maryati terus menggesek-gesekkan
bagian itu selama kami berciuman. Ia tampak kesenangan menikmati
permainan ini. Tapi Maryati paling senang ketika aku memeluknya dari
belakang. Tak henti-hentinya ia menggoyang-goyangkan pantatnya pada
batang kemaluanku, dan aku mengimbanginya dengan meremasi buah dadanya
dari belakang sambil terus menciumi daerah telinga, leher dan bibirnya
dari arah samping. Bercumbu dengan posisi begini memang mengasyikan.
Batang kejantananku seperti meluncur-luncur di sela-sela garis
pantatnya. Rasanya lembut dan geli. Bagai dielus-elus dengan kain
beludru. “Mass..” desahnya sambil membalikkan badannya dan kemudian
melingkarkan tangannya ke leherku. “Apa..?” kucengkeram kedua pinggulnya
yang padat bulat itu. “Siapa saja yang sudah pernah tidur di sini?”
tanyanya mulai menggodaku. Aku agak heran dengan pertanyaannya yang rada
menyelidik itu. “Nggak ada”, jawabku pendek. “Masak sih, nggak ada?”
“Iya..” aku berusaha meyakinkannya. “Lha, istri Mas Is dulu tidur di
mana?” “Oo itu.. Ya, kalau dulu sih ini memang tempat tidur kami berdua.
Tapi sejak pisah, ya nggak ada orang lain lagi yang pernah tidur di
sini selain aku sendiri..” “Beneer..?” nadanya mulai meledek. “Sumpah..”
balasku manja. “Terus, kalau Mas Is lagi kepingin, mainnya di mana
dong?” “Kepingin apa?” tanyaku pura-pura bodoh. “Ya, kepingin
begituan..” “Kalau lagi kepingin.. ya kadang-kadang mainnya di sini..”
“Lho? tadi katanya nggak ada orang lain yang tidur di sini selain istri
Mas Is..” Aku tertawa pendek menyadari kebingungan Maryati. “Kalau mau
main, memangnya harus ada orang lain?” kataku kemudian. “Maksudnya?” ia
makin kebingungan. “Emangnya nggak bisa main sendiri..?” “Idiih..
maksudnya..?” Maryati tak meneruskan kalimatnya, tapi matanya menatapku
lucu dan tangannya lalu menggenggam milikku dan mengocok-ngocoknya.
Seolah ingin memastikan bahwa perbuatan seperti itulah yang aku
maksudkan dengan main sendiri, alias onani. Aku mengangguk membenarkan
maksudnya. Ia tertawa. “Kok ketawa?” kataku sambil mendekap tubuhnya
dengan gemas. “Nggak kebayang deh..” jawabnya sambil masih cekikikan.
“Ya jangan dibayangin dong.” “Kalau nggak boleh ngebayangin, boleh dong
saya lihat Mas Is melakukan itu.” “Hah?” kataku kaget. Kini gantian aku
yang tertawa mendengar permintaannya yang tidak biasa itu. Selama ini,
sejak pisah dengan istriku, pemenuhan kebutuhan seksualku memang lebih
banyak kulakukan dengan cara onani saja, karena aku termasuk
konservatif, nggak bisa main sembarangan, hati-hati dan penuh
perhitungan. Melakukan onani bagiku lebih save dan cukup memuaskan.
Hampir semua laki-laki pasti pernah melakukan seks swalayan itu. Dulu
waktu masih remaja aku juga sering melakukannya dan mendapatkan kepuasan
dari situ. Bahkan ketika sudah menikah pun aku kadang-kadang juga masih
melakukannya, terutama bila istriku dulu sedang berhalangan. Aku bisa
minta dia membantuku beronani atau aku melakukannya sendiri tanpa dia.
Apalagi setelah kami cerai, acara ngocok bisa kulakukan seminggu sekali,
bahkan lebih kalau nafsuku lagi kencang-kencangnya. Biasanya aku
melakukannya menjelang tidur atau saat bangun tidur. Sudah alamiah,
punya laki-laki kalau saat bangun tidur pagi hari biasanya dalam kondisi
sedang ereksi. Kalau kebetulan saat itu volatage-ku juga sedang
tinggi-tingginya, biasanya langsung kusalurkan dengan cara mengocok. Aku
bisa melakukannya di atas tempat tidur atau di kamar mandi waktu mandi
pagi. Kalau aku melakukannya menjelang tidur, biasanya sambil melihat
majalah atau film porno koleksiku atau hasil pinjaman. Tapi kalau
melakukannya ketika bangun tidur atau di kamar mandi, aku cukup dengan
berkhayal saja. Selama ini aku lebih banyak melakukan onani dengan
tangan kering, karena keluarnya bisa agak lama. Tapi untuk sensasi,
kadang-kadang aku pakai baby oil atau sabun kalau pas melakukannya di
kamar mandi. Saya rasa yang terakhir itu (nyabun) biasa dilakukan oleh
laki-laki. Tentunya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Dan kamar mandi
memang tempat yang paling populer untuk beronani ria. Karena tempatnya
aman, tertutup dan bisa telanjang dengan bebas, sehingga tak perlu takut
dicurigai atau diketahui orang lain. Tapi kini, ada seorang wanita yang
ingin menontonku melakukan onani di hadapannya. Gila! Aku sampai
tertawa menanggapi permintaan Maryati yang nyeleneh itu. Tapi aku
menghentikan tawaku begitu menyadari bahwa Maryati tampaknya serius
memintaku melakukan itu. “Oke”, kataku akhirnya, “Tapi janji, Dik Mar
juga harus ikut melakukan itu di depan saya..” “Nggak ah!” sergahnya
cepat. “Kenapa? Memang nggak pernah..?” “Ihh.. pakai nanya lagi!”
katanya sambil mencubitku. Segera kutangkap tangannya, kupeluk tubuhnya
dan kami lalu kembali tenggelam dalam ciuman yang mesra dan bergairah.
Sejenak kemudian aku melepas pelukanku dan membimbing tubuhnya berbaring
di atas ranjang. Aku sendiri kemudian berbalik berjalan menuju kursi
dekat meja kecil di seberang tempat tidur, dan duduk santai di atasnya.
“Dik..” kataku memberi isyarat pada Maryati yang tergolek di atas kasur
di depanku. Aku kemudian memancing dia dengan mulai meremas-remas
milikku sendiri yang sudah tegang itu. Beberapa saat kemudian Maryati
pun mulai mengikuti perbuatanku. Jari-jarinya mulai terarah menuju
selangkangannya, mulai menggelitik dan mengusap-usap miliknya sendiri.
Maka dimulailah pertunjukan seks swalayan. Kami berdua saling
berpandangan dan saling mengamati perbuatan satu sama lain. Tubuh
Maryati tampak telentang miring bersandar pada salah satu sikunya.
Posisi tubuhnya menghadap ke arahku. Sehingga aku bisa dengan leluasa
melihat semua gerakan masturbasinya. Posisi dudukku sendiri sudah tidak
tegak lagi, tapi sudah setengah bersandar. Kedua paha dan kakiku
selonjor ke depan dan sengaja kubuka lebar-lebar. Aku memainkan milikku
dengan gerakan bervariasi, mulai dari meremas, mengurut, memijat sampai
gerakan mengocok. Sesekali aku juga merangsang buah pelirku dengan cara
mengusap-usap dan meremas-remasnya. Seolah-olah aku ingin menunjukkan
pada Maryati semua gerakan onani yang biasa kulakukan selama ini. Kami
berdua mulai saling terangsang oleh perbuatan kami masing-masing. Kalau
selama ini aku beronani sambil nonton BF atau lihat gambar porno sambil
mengkhayal hal-hal yang merangsang, maka kini aku melakukannya dengan
bantuan obyek dan kejadian yang lebih nyata. Aku sampai kesulitan
menahan keinginanku untuk tidak menyetubuhi Maryati karena sangat
terangsang melihat segala gerakannya selama bermasturbasi itu. Semua
begitu nyata dan merangsang. Aku yakin Maryati pun merasakan hal yang
sama selama melihat secara langsung seorang laki-laki beronani di
hadapannya. Matanya kulihat mulai sayu tapi terus mengamati
gerakan-gerakan tangan yang kubuat terhadap kemaluanku sendiri. Aku
hampir mencapai puncak, ketika kudengar mulut Maryati mulai
merintih-rintih sambil menatapku dengan wajah seperti orang ingin
menangis. Jari manis dan jari tengahnya tampak bergerak cepat mengusap
dan menekan-nekan bagian atas bibir kemaluannya khususnya di bagian
klitorisnya. Ia mulai memanggil-manggil namaku dan tubuhnya mulai
mengejang. Punggungnya kemudian melengkung dan kedua pahanya merapat
menjepit tangannya sendiri yang terselip di selangkangannya. Aku semakin
terangsang melihat pemandangan nyata di depanku. Desiran-desiran mulai
kurasakan pada pangkal kemaluanku sendiri. Dan aku semakin memperkuat
kocokan tanganku sendiri sampai menimbulkan sedikit bunyi yang
diakibatkan oleh bercampurnya keringat di telapak tanganku dan cairan
bening yang mulai keluar dan meleleh dari lubang kecil di ujung
kemaluanku. Tapi akhirnya aku tak tahan lagi begitu mendengar Maryati
berteriak memekik. Dan aku segera loncat dari kursi dan menghambur ke
arahnya. Aku sudah tak tahan lagi dengan semua ini. Segera kubuka
pahanya yang masih merapat itu dan tanpa ba bi Bu kutusukkan batang
kemaluanku ke lubang yang sudah basah oleh cairan birahi itu. Maryati
terpekik ketika seluruh kejantananku dengan cepat dapat menerobos dan
menyelip masuk. Kurasakan di dalam sana milikku berdenyut-denyut oleh
konstraksi dindingnya, menimbulkan rasa geli yang sangat nikmat. Rupanya
orgasme Maryati datang bersamaan dengan hujaman rudalku. Sejenak aku
diam menikmati pengaruh orgasme di tubuh Maryati pada batang kemaluanku.
Lalu pelan-pelan aku mulai menggoyang dan mengayun pinggulku. Pelan dan
pelan. Berputar dan mengulir. Sesekali menyentak. Kunikmati sekali
persetubuhan ini, sampai akhirnya aku mulai melakukan gerakan memompa
dan menusuk-nusuk. Maryati tampak mulai menikmati genjotanku. Ia
menggeliat-geliat sambil melenguh dan sesekali tersenyum dengan mata
terpejam. Seolah meresapi segala gerakan nikmat yang kuciptakan pada
tubuhnya. Aku sendiri, karena akibat onani tadi, sudah beberapa kali
harus menahan desiran yang terus muncul dari pangkal selangkanganku.
Biasanya ini tanda orgasmeku mau datang. Tapi aku merasa sayang untuk
mengeluarkannya sekarang. Seolah seperti membaca pikiranku, tiba-tiba
Maryati memintaku untuk segera menyemprotkan cairan maniku yang sedari
tadi kutahan. “Keluarin Mass.. keluarin sekarang.. di luar saja..” ia
merintih sambil menatapku sayu. Aku mengerti maksudnya. Maka segera
kucabut batang kemaluanku dan dengan posisi mengangkangi perutnya, aku
lalu melakukan onani di atas tubuhnya. Kukocok dan kukocok terus milikku
dengan kuat. Cairan kemaluan Maryati yang menempel di sekujur batang
kemaluanku makin memperlancar gerakan tanganku. Kepala kemaluanku yang
bulat mengkilat tampak tersengal-sengal dalam genggaman tanganku.
Maryati pun tampak menikmati sekali atraksi yang sedang kulakukan di
atas tubuhnya. Bahkan ia mulai meraba-raba kantung pelirku. Oh tidak, ia
tak cuma meraba, tapi juga meremas-remas kantung bulat berkulit tebal
itu. Membuat pinggul dan pantatku bergerak-gerak seiring remasan
tangannya. “Ooohh, nikmat sekali..” Aku menggeram tertahan, ketika
akhirnya semprotan maniku yang pertama memancar dengan kuat. Langsung
mengenai wajah Maryati. Tapi ia dengan senangnya merasakan sentuhan air
kental hangat itu di pipinya. Matanya tak sedikit pun lepas dari
kemaluanku yang sedang meradang memuntahkan semprotan-semprotan
berikutnya. Semua memancar dan menyemprot tak hanya ke wajahnya, tapi
juga bibir dan buah dada Maryati. Tangannya kulihat sibuk mengusap
cairan putih kental itu dan meratakannya ke permukaan payudaranya.
Terakhir kulihat Maryati menjilat sisa spermaku yang ada di ujung
jarinya. Aku betul-betul puas dengan semua ini dan puncak birahi ini
telah membuat seluruh sendi tubuhku serasa dilolosi sehingga aku
terpaksa harus menahan tubuhku agar tak rebah menjatuhi tubuh Maryati.
Maka dengan bertumpu pada kedua telapak tanganku, pelan-pelan aku
merundukkan tubuhku sehingga tubuhku merapat agak menindih dan membuat
batang kemaluanku mendarat tepat di sela-sela kedua bukit buah dadanya.
Rasa kenyal yang diciptakan membuatku bereaksi untuk menggeser-geserkan
pisang ambonku di celah kedua bukit itu. Ah.. geli sekali rasanya. Geli
yang nikmat. Nikmat yang sangat. Beberapa kali tubuhku sampai
tersentak-sentak oleh rasa geli yang muncul belakangan itu. Apalagi
kedua telapak tangan Maryati kemudian menekan kedua pantatku ke bawah
dan memutar-mutarnya. Aku hanya bisa melenguh menikmati bonus orgasme
yang diberikannya. “Enak Mas?” kata Maryati ketika akhirnya aku rebah di
sebelah kiri tubuhnya. “Hhheehh..” aku hanya bisa mendesah dan membalas
kecupan bibirnya. “Mas Is seksi banget kalau lagi ngocok..” “Hmm.. asal
jangan djadikan tontonan rutin saja..” sahutku masih terengah.
“Kenapa?” tanyanya. “Masak mau ngocok terus?” sahutku. “Katanya sudah
biasa..” katanya. “Ya, tapi kan sekarang sudah ada Dik Mar”, kataku.
“Kalau saya sedang nggak ada, atau lagi berhalangan, gimana?” tanyanya.
“Tergantung..” sahutku seenaknya. “Tergantung apa?” tanyanya lagi.
“Tergantung yang menggantung!” kataku. “Iiihh..” tangan Maryati mencubit
bagian tubuhku yang menggantung itu. Aku sampai berteriak. Tapi
kemudian ia membelai-belai mesra buah pelirku. “Bagaimana kalau yang
berhalangan saya?” aku lalu gantian bertanya. “Hmm..” ia tampak
berpikir. “Ya, kalau dalam keadaan terjepit seperti itu ya harus bisa
memanfaatkan kesempatan..” katanya. “Kok, kesempatan?” tanyaku heran.
“Iya, yang sempit-sempit harus diberi kesempatan untuk tetap menjepit
meskipun dalam keadaan terjepit..” jawabnya tenang sambil senyum-senyum.
Aku tertawa ngakak mendengar balasannya yang cerdas itu. Segera
kurengkuh pinggangnya dan kutindih tubuhnya sebelum ia sempat mengelak.
Kutempelkan punyaku tepat di cekungan pangkal pahanya. “Jadi, kapan lagi
mau menjepit yang menggantung?” tanyaku bercanda sambil menekan milikku
ke miliknya. “Itu sih tergantung dari yang mau terjepit..” sahutnya
kocak sambil sedikit menggoyangkan pinggulnya. Sialan, gerakannya
membuatku berdesir. Tapi sore ini aku tak ingin terlalu menuruti hawa
nafsu yang muncul. Maryati pun bukan type wanita yang menggebu-gebu
nafsu seksnya. Bagi kami, yang penting adalah kualitas dalam bermain
cinta, bukan kuantitas atau frekuensinya. Maka sore itu juga, setelah
selesai mandi, Maryati memintaku untuk mengantarnya pulang ke rumah.
Selama di mobil kami ngobrol dan guyon-guyon mengenai hal-hal yang
ringan. Tak ada lagi acara saling remas seperti siang tadi. Karena
semuanya sudah tersalurkan.