- Home >
- ARISAN PARA SUAMI - 2
Posted by : NashGore
Sabtu, 03 Desember 2016
Suasana
dalam ruangan itu kudapati biasa-biasa saja. Di sudut-sudut ruangan
terdapat makanan kecil dan buah-buahan. Di sudut lainnya ada sebuah bar
yang kelihatan lengkap sekali jenis minumannya. Sementara itu suara
iringan musik terdengar samar-samar mengalun dengan lembut dari ruang
tamu yang besar. Yang membedakannya adalah para tamunya. Kelihatannya
tidak begitu banyak, kuhitung hanya ada belasan orang dan wanitanya
semua berdandan secantik mungkin dengan pakaian yang lebih seksi
daripada yang kukenakan. Demikian juga aku tidak melihat seorang pelayan
pun atau petugas catering yang biasanya mengurusi konsumsi dalam
pesta-pesta yang diadakan di rumah-rumah mewah seperti ini.

Tante Ngentot Bertukar Pasangan
"Silakan..
help your self saja", kata nyonya rumah kepada kami dalam bahasa
Inggris logat Cina Singapore. "Memang sengaja para pembantu semuanya
sudah disuruh ngungsi.., you know kan, agar privacy kita tidak
terganggu!" katanya lagi dengan suara yang genit. Kami segera berbaur
dengan pasangan-pasangan lainnya yang sudah ada di sana. Priyono dan
istrinya sedang mengobrol dikelilingi beberapa pasangan lainnya. Aku
lihat istri Priyono benar-benar sangat menarik sekali malam itu dengan
pakaiannya yang agak tembus pandang membuat mata kita mau tidak mau akan
segera terjebak untuk memperhatikannya dengan seksama, apakah dia
memakai pakaian dalam di balik itu. Sehingga dalam pakaian itu dia tidak
saja kelihatan sangat cantik akan tetapi juga seksi. Melihat penampilan
istri Priyono, suamiku jadi sangat antusias sekali. Dia terus
memperhatikan istri Priyono tanpa mempedulikanku lagi. Sikap suamiku
yang demikian menimbulkan juga rasa cemburu di hatiku. Jadi benar
dugaanku, rupanya suamiku benar tertarik kepada istri Priyono. Pantas
saja dia sering memujinya bahkan sering mengatakan kepadaku secara
bergurau bagaimana rasanya kalau berhubungan kelamin dengan istri
Priyono. Tidak berapa lama kemudian tuan rumah beserta istrinya
menghampiri kami. "Mari kita ambil minum dahulu", katanya sambil
langsung menuju bar. Salah seorang tamu kemudian bertindak sebagai bar
tender. Dengan cekatan dia membuatkan minuman yang dipilih masing-masing
orang dan kebanyakan mereka memilih minuman yang bercampur akohol.
Kecuali aku dan istri Priyono. Aku memang tidak begitu tahan terhadap
minuman beralkohol. "Anda minum apa?" tanyanya kepadaku dan istri
Priyono. "Coca cola saja..!" kataku. "Pakai rum, bourbon atau scotch?"
"Terima kasih.., coca cola saja..!" "Oo, di sini tidak boleh minum itu!
Itu termasuk minuman kedua yang dilarang di sini..!" katanya dalam nada
yang jenaka. "Minuman pertama yang dilarang adalah cola atau lainnya
yang dicampur dengan Baygone! Yang kedua minuman yang anda pilih tadi,
jadi mau tidak mau harus dicampur sedikit dengan rum atau lainnya. Saya
kira 'rum and cola' cocok untuk anda berdua!" katanya lagi sambil terus
mencampur rum dan segelas cola serta menaruh es batu ke dalamnya.
"Ini.., cobalah dahulu.., buatan bar tender terkenal!" katanya sambil
menyodorkan gelas itu kepada kami. Selesai membuat minuman dia segera
bergabung dengan kami. "Anda cantik sekali dengan busana ini", katanya
seraya memegang pundakku yang terbuka. Aku agak menjauhinya seketika
karena kukira dia mabuk. Tapi sesungguhnya hal itu disebabkan aku tidak
terbiasa beramah-ramah dengan seorang pria asing yang belum kukenal
benar. "Terima kasih", kataku berusaha menjawabnya. "Dada anda bagus
sekali", katanya sambil menatap dalam-dalam ke arah belahan dada gaunku.
Dia diam sejenak. Kemudian dia mulai memperhatikanku secara khusus.
Kelihatannya dia sedang menilaiku. Aku dapat membacanya dari senyumnya
yang tersembunyi. Apabila waktu yang lalu ada seorang laki-laki yang
memandang diriku secara demikian maka suamiku mungkin akan segera
mengirimkan bogem mentah kepadanya. Aku pun kemudian mulai memperhatikan
penampilannya. Aku berpikir apakah dia laki-laki yang akan meniduriku
nanti? Tidak begitu jelek juga, pikirku. Tinggi badannya kira-kira 170
cm, dengan bahu yang bidang dan wajah yang ramah menarik. Aku berpikir
rupanya dalam club ini untuk dapat tidur dengan seorang wanita tidak
berbeda bagaikan akan membeli seekor sapi saja. Namun secara tidak
disadari aku menyukai juga ucapannya itu terutama datangnya dari seorang
pria yang tidak aku kenal dan di hadapan suamiku. Kuharap dia dengar
kata-kata itu. Kata-kata itu ditujukan kepadaku, bukan kepada istri
Priyono. Ya, pada saat itu aku merasa agak melambung juga walaupun hanya
sedikit. Aku segera menghabiskan minumanku. Aku memang selalu berbuat
itu, akan tetapi rupanya dia mengartikannya lain bahwa aku ingin segera
memulai sesuatu. "Jangan terburu-buru!" katanya. "Kita belum lagi tahu
cottage mana yang akan anda tempati", katanya sambil menambah minumanku.
"Akan tetapi saya senang sekali apabila nanti kita dapat tempat yang
sama dan segera ke sana." bisiknya. Aku menjadi agak terselak seketika.
Hal ini disebabkan bukan hanya aku kaget mendengar bisikannya itu,
tetapi juga minumanku terasa sangat keras sehingga kepalaku langsung
terasa mulai berat. "Saya benar-benar baru pertama kali mengikuti
pertemuan ini", tiba-tiba aku berkata secara spontan. "Ohh", katanya
agak kaget. Kemudian dia menatapku dengan pandangan yang menyesal. "Saya
harap kata-kata saya tadi tidak menyinggung anda." bisiknya dengan nada
minta maaf. "Sungguh.. sungguh tidak", kataku sambil memberikan
senyuman. Tidak berapa lama kemudian tuan rumah mengumumkan akan
melakukan penarikan nomor arisan. Semula aku mengira tuan rumah akan
menarik nama pasangan yang akan mendapat arisan bulan ini sebagaimana
arisan-arisan biasa lainnya. Akan tetapi dugaanku meleset. Mula-mula
tuan rumah meminta kami untuk berkelompok secara terpisah antara suami
istri. Para suami membuat kelompok sendiri dan para istri juga membuat
kelompok sendiri. Selanjutnya kami masing-masing diminta mengambil
amplop kecil dalam dua buah bowl kristal yang berbeda yang diletakkan
pada masing-masing kelompok. Satunya untuk para suami dan satunya lagi
untuk para istrinya. Amplop kecil tersebut ternyata berisi sebuah kunci
dengan gantungannya yang bertuliskan sebuah nomor. Aku bertanya kepada
wanita di sebelahku yang kelihatan sudah biasa dalam kegiatan ini.
"Kunci ini adalah kunci cottage yang ada di sekitar villa ini.."
katanya. "Jadi nanti kita cocokkan nomor yang ada di kunci itu dengan
nomor bungalow atau kamar di sana." "Terus.." kataku selanjutnya.
"Terus..!?" katanya sambil memandang kepadaku dengan agak heran.
"Terus..? Oh ya.., kita tunggu saja siapa yang dapat kunci dengan nomor
yang sama!" Tiba-tiba hatiku menjadi kecut. Aku tidak dapat membayangkan
apa yang akan dilakukan dalam cottage itu. Apalagi hanya berduaan
dengan laki-laki yang bukan suami kita. "Jadi kita hanya dengan berdua
dalam cottage itu?" "Ya, karena kuncinya sudah pas sepasang-sepasang!"
"Jadi kita tidak tahu siapa yang dapat kunci dengan nomor yang sama
dengan nomor kita?" kataku untuk menegaskan dugaanku. "Ya, memang
sekarang ini sistemnya berbeda. Dahulu pada waktu club ini disebut The
Golden Key Club memang kita bisa ketahui karena para pesertanya
mula-mula berada dalam sebuah kamar masing-masing. Jadi kita tahu siapa
di kamar nomor berapa. Kemudian baru para suami keluar dan saling tukar
menukar kunci kamar mereka dimana para istrinya berada di dalamnya.
Sekarang sistem itu telah dirubah. Karena dengan sistem itu ada anggota
yang suka curang. Dia memilih pasangan yang diincarnya sehingga timbul
komplain dari anggota yang lain. Sekarang masing-masing pasangan
mengambil kunci kamar secara diundi dan disaksikan oleh semua anggota.
Sehingga sekarang lebih fair karena anggota tidak dapat memilih
pasangannya yang diincar terlebih dahulu. Kelemahannya dalam sistem ini
ada kemungkinan pasangan suami-istri itu juga akan mendapatkan nomor
yang sama. Kalau sudah begitu ya nasibnya lah.., kali ini dia tidak
dapat apa-apa." Sekarang aku baru mengerti mengapa club ini dahulu
dinamakan The Golden Key Club. Selesai kami mengambil kunci semua
berkumpul kembali di ruang tamu. Tuan rumah meminta kami untuk mengambil
gelas sampanye masing-masing kemudian kami bersulang. Aku mereguk
sampanye itu sekaligus sehingga kepalaku kini terasa semakin berat.
"Dapat nomor berapa?" kata suamiku yang tiba-tiba sudah berada di
sampingku. "Nomor delapan..!" jawabku. "Untung..! " "Kenapa untung?" "Ya
untung tidak dapat nomor yang sama.., nomorku duabelas!" katanya. "Itu
bukan untung tapi cilaka.., cilaka duabelas namanya!" "Ya tapinya untung
juga..!" jawab suamiku. "Kenapa..?" "Untung bukan cilaka tigabelas!"
jawabnya sambil tertawa. "Sudah percuma berdebat di sini..!" kataku. "Eh
kalau Novie dapat nomor berapa ya?" kataku lagi. "Iya ya.., nomor
berapa dia, tolong kau tanyakan dong!" Rupanya aku tidak usah
berpayah-payah mencari Novie karena tiba-tiba Priyono dan istrinya sudah
berada di dekat kami. "Eh, kamu dapat nomor berapa?" aku berbisik
kepada Novie. "Nomor duabelas Mbak.." jawabnya. Aku jadi terhenyak. Jadi
maksud suamiku untuk meniduri istri Priyono kini tercapai. Aku segera
memberi isyarat kepada suamiku bahwa nomornya sama dengan nomor dia.
Suamiku kelihatan berseri-seri sekali ketika menerima isyaratku. Aku
jadi agak cemburu lagi melihat tingkahnya. Dia bernyanyi-nyanyi kecil
mengikuti irama musik yang mengalun di ruangan itu. Tidak berapa lama
kemudian lampu-lampu di seluruh ruangan itu mulai meredup. Ruangan itu
kini menjadi agak gelap dan alunan musik berirama slow terdengar lebih
keras lagi. Suasana dalam ruangan itu kini jadi lebih romantis. Aku
lihat beberapa pasangan yang mulai berdansa tapi kebanyakan dari mereka
menyelinap satu persatu, mungkin menuju cottage-nya masing-masing, tapi
ada juga yang masih duduk-duduk mengobrol di sofa. Tiba-tiba Priyono
mengajakku untuk berdansa. Dan sudah barang tentu suamiku segera juga
mengajak istri Priyono berdansa. Ketika kami berdansa Priyono mendekapku
erat-erat. Begitu sangat eratnya sehingga seolah-olah kami dapat
mendengar degub jantung di dada masing-masing. "Kamu dapat nomor
berapa?" tiba-tiba Priyono berbisik di telingaku. "Nomor delapan!"
jawabku. "Ah, sayang.." "Mengapa?" kataku lagi. "Aku nomor enam!"
katanya lagi. "Siapa itu..?" tanyaku. "Aku dengar sih Nyonya Siska,
istrinya tuan rumah!" "Wah, enak dong.., orangnya sintal, mungkin tiga
hari nggak habis dimakan!" kataku berseloroh. "Jangan ngeledek ya..!"
katanya. "Memangnya kenapa..? Kan betul orangnya sintal!" "Potongan
seperti itu bukan typeku!" katanya. "Typemu seperti apa sih?" kataku.
"Seperti kamu..!" katanya lagi sambil terus mendusal-dusal leherku. Aku
jadi agak bergelinjang juga leherku diciumi Priyono sedemikian rupa.
Selama kami bergaul belum pernah dia melakukan hal yang tidak senonoh
denganku. Dia sangat sopan terhadapku. Tapi malam ini tiba-tiba saja dia
berbuat itu. Apakah karena pengaruh alkohol yang dia minum tadi atau
memang selama ini dia juga mempunyai perasaan yang terpendam terhadap
diriku. Perasaanku kini jadi melambung kembali. Ditambah dengan pengaruh
alkohol yang aku minum tadi, aku merasakan adanya gairah birahi yang
timbul dalam diriku ketika berdekapan Priyono sehingga aku pasrah saja
leherku didusal-dusalnya. "Eh, kau ngerayu, atau mabok..? Kenapa dari
dulu-dulu nggak bilang!" kataku sambil terus mendekapkan tubuhku lebih
erat lagi sehingga buah dadaku terasa menyatu dengan dadanya. "Malu sama
suamimu!" "Kenapa malu.., dia sendiri juga sering cerita bahwa dia suka
sama istri kamu, eh sekarang dia dapat nomor kamar istrimu lagi!"
kataku lagi. "Oh ya..?" kata Priyono. "Kalau aku dulu bilang.., kau
terus mau apa?" "Tentunya kita nggak usah payah-payah ikut arisan di
sini.. di rumah saja!" "Ah, kau..!" katanya sambil terus menempelkan
pipinya ke pipiku. Selanjutnya begitu irama musik hampir selesai,
tiba-tiba Priyono meraih wajahku dan langsung mengecup bibirku dengan
lembut. Bersambung...